Rabu, 25 Maret 2009


song of freedom
hardboardcut 3/7
33 x25

Senin, 23 Maret 2009

Pameran seni grafis - Hangout#2

Pameran Seni Grafis

Pameran seni grafis

Hangout#2

Sesuai dengan istilah yang dipakai sebagai tema pameran ini, Hangout; suatu proses yang berawal dari kehendak untuk mengurangi atau menghilangkan rasa yang biasa disebut dengan ‘jenuh’. Entah hal tersebut karena situasi atau pola kebiasaan yang telah dilakukan secara monoton, atau mungkin yang lainnya. Hal ini kelihatannya hanya sering terjadi di setiap kehidupan manusia dewasa. Seniman dalam hal ini adalah manusia dewasa, dan pasti pernah melalui situasi seperti ini.

Beberapa seniman menyiasati hangout dengan berkarya, atau jalan-jalan tanpa tujuan, atau mungkin dengan aktifitas ekstrim yang membutuhkan adrenalin atau yang lainnya yang lebih kreatif. Dengan maksud agar mendapatkan pola yang beda dalam kehidupannya atau dapat juga kita sama artikan sebagai refresh atas situasi keseharian yang selalu sama.

Dalam pameran ini harapan yang dibangun adalah kebersamaan dalam mempresentasikan sebuah konflik yang memaknai sebuah realitas keseharian yang memudarkan ruang batas antara hingar-bingar dengan kecarutmarutan.

Dalam hal ini pengkaryaan sebagai proses pencitraan yang diawali atas peristiwa yang sedikit banyak memaknai aktifitas hangout untuk menemukan penyelesaian atas persoalan kejemuan dan kejenuhan.

Ketentuan karya

  • Dalam pameran ini media pengungkapan atas ide dan gagasannya melalui seni grafis. Hal ini terbatas sesuai dengan medium-medium seni grafis yang telah berkembang hingga saat ini.
  • Ukuran karya maksimal lebar 50 x 300cm.

Konsep pameran

Dalam pameran ini seniman akan di bebaskan merespon ruang kecil yang berbentuk kotak dengan ukuran ruangan 4 x 9 x 3meter.

Dalam situasi ini karya satu dengan lainnya terbuka untuk saling bersinggungan dalam maksud saling merespon.

Tempat

Galeri minimalis-kedai belakang

Jl. Taman Siswa, Mergangsan Kidul Mg II/1253

Yogyakarta

Waktu

Tanggal 12 s/d 22 april 2009

Peserta

Peserta pameran adalah umum

Dalam hal ini mereka yang kemudian telah menyetujui persyaratan yang panitia berikan. (mengisi formulir dan membayar iuran sebesar Rp. 50.000,-)

Jadwal aktifitas yang berkaitan dengan persiapan dan agenda lainnya:

Kegiatan

Tanggal

-

-

-

-

-

-

-

-

Pengumpulan formulir

Pengumpulan foto karya

Pengumpulan data karya

Pengumpulan curriculum vitae

Pengumpulan karya

(karya dikumpulkan dikedai belakang)

Display karya

Pembukaan

(tanggal 12 April 2009, pukul 19.30wib – selesai)

Pengembalian karya

20 maret 2009

31 maret 2009

31 maret 2009

31 maret 2009

7 - 9 april 2009

11 – 12 april 2009

12 april 2009

23 – 30 april 2009




Formulir

Nama:

Alamat:

Aktifitas terakhir berkesenian:

Karya yang akan di pamerkan:

Karya I

Judul:

Ukuran:

Teknik:

Tahun pembuatan:

Karya II

Judul:

Ukuran:

Teknik:

Tahun pembuatan:


Kuitansi Bukti Pembayaran Iuran Pameran “Hangout”

Telah diterima dari

Sebesar

Terbilang

:

:

:

.........................................................................

Rp.

.........................................................................



Yogyakarta, Maret 2009

Penerima

( .................................... )





Senin, 02 Maret 2009

Seni Grafis Makin Diminati Meski Sulit Memasarkan Karyanya







Bandung, Kompas - Seni grafis yang rumit dalam pengerjaan, tetapi sulit dipasarkan di Indonesia, ternyata diminati anak-anak muda. Di masa datang, pegrafis Indonesia memiliki peluang berkarya di luar negeri.

Tisna Sanjaya, seniman grafis asal Bandung, yang juga dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (22/11), di Galeri Rumah Teh, melaksanakan syukuran babak baru kehidupan keseniannya.

Karya-karya grafisnya yang dibuat dari masa kuliah hingga tahun 2006 ditukar dengan sebuah mobil baru berharga ratusan juta rupiah. Selama ini karya grafis sulit dijual di Indonesia.

Menurut Tisna, barter karya seni dengan karya industri yang dilakukannya adalah sebuah cara agar seni grafis dikenal publik. Selama ini di Indonesia seni grafis dinilai sebagai seni kelas dua.

Pembeli karya Tisna akan menjadi manajer bagi Tisna agar karya- karyanya bisa dikenal dunia. Tisna berharap bisa bekerja dalam waktu tertentu di studio-studio di luar negeri, lalu kembali ke Indonesia. Tidak seperti di Indonesia, di luar negeri, seperi Belanda, Jerman, dan Jepang, banyak terdapat studio grafis.

"Saya berharap pegrafis Indonesia tidak mengandalkan infrastruktur seni grafis di Indonesia yang lingkungannya kurang kondusif. Mereka bisa berkarya di studi-studio di luar negeri sehingga pegrafis Indonesia suatu saat bisa dikenal di dunia internasional," kata Tisna.

Menurut Tisna, semakin banyak mahasiswa yang berminat mempelajari seni grafis. Dicontohkan, di ITB jumlah peminat seni grafis makin banyak meskipun tidak semua lulusannya memilih menjadi pegrafis karena kerumitan proses kerja dan alat seni grafis.

"Saya menduga banyak anak muda yang tertarik menjadi mahasiswa seni grafis karena melihat dosen-dosennya masih terus berkarya," kata Tisna.

Sementara itu, mengenai sedikitnya mahasiswa seni grafis yang melanjutkan profesi sebagai pegrafis, Tisna mengaku belum mengetahui pasti penyebabnya. Namun, diperkirakan karena sulitnya menjual karya grafis.

Namun, ia optimistis di era digital, karya grafis manual, seperti seni grafis, akan makin dicari dan dinilai sebagai barang antik. Tisna mengaku mendalami seni grafis karena menyukai proses pembuatannya yang rumit.

Menurut Isa Perkasa, kurator Galeri Rumah Teh, galerinya mengadakan pameran seni grafis sekitar dua kali dalam setahun. Menurut dia, seniman grafis masih sedikit. "Orang yang mempelajari seni grafis biasanya kalau sudah lulus pindah jalur, tidak lagi menjadi pegrafis," kata Isa.

Isa mengatakan sedikitnya orang memilih menjadi seniman grafis karena rumitnya proses kerja seni grafis. Untuk membuat karya etsa, seseorang harus menoreh pelat, lalu mengasamkan, dan mencetaknya. Dibutuhkan studio khusus, tidak mungkin melakukannya di rumah. "Zat asam yang digunakan bisa mengganggu pernapasan anggota keluarga," ujarnya.

Isa yang pernah mendalami seni grafis akhirnya pindah jalur dengan alasan yang sama. Menurut Isa, dalam sekali pengerjaan karya, biasanya dibutuhkan waktu rata-rata sekitar dua minggu. Selama ini karya seni grafis yang dipamerkan di Galeri Rumah Teh biasanya dijual dengan harga Rp 2 juta-Rp 3 juta per karya. (ynt)

Seni Grafis Hari Ini

Mengetengahkan yang Terpinggirkan:
Seni Grafis Hari Ini
03/06/2008 06:59
Print View Post Your Comment
Dalam Mimbar Indonesia edisi 17 Agustus 1948, tiga tahun setelah kita merdeka, Rifai Apin, sastrawan angkatan 45 (sahabat Chairil Anwar dan Asrul Sani dalam “Tiga Menguak Takdir”) menulis tentang seni grafis di media massa berjudul: “Suatu Cabang Lagi Dipenuhi”. Tulisan pendek itu merupakan pembelaan terhadap cabang seni rupa dua dimensi yang awalnya hanya dianggap sebagai media propaganda. Meskipun itu benar, seperti catatan Aminudin TH Siregar, bahwa puncak pemanfaatan seni grafis sebagai media propaganda dapat dilihat saat pelaksanaan proyek menyambut peringatan kemerdekaan RI yang pertama, Agustus 1946. Sampai hari ini perayaan terhadap bidang seni grafis belum menggembirakan, walau sejak tiga puluh lima tahun yang lalu cukup mendapat tempat di beberapa institusi seni, terutama Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ternukti tak terlalu ramai orang yang hadir dalam pembukaan pameran seni grafis bertajuk Grafis Hari Ini di Bentara Budaya, Kamis malam, 14 Mei 2008. Sesuai dengan kata pengantarm, juga catatan kurator dalam katalog, yang mengatakan bahwa seni grafis masih dipandang rancu sebagai bagian dari seni lukis. Namun posisinya lebih marginal, karena kreasinya dianggap sebagai karya masal yang dapat diulang dan digandakan. Sisi orisinalitas bagi kolektornya sedikit terganggu, karena tak eksklusif dengan menyandang julukan yang one and only.

Peristiwa kedua Triennal Seni Grafis Indonesia (2006), kembali diselenggarakan oleh Bentara Budaya (yang pertama tahun 2003). Terasa langka dan kurang populer memang, namun sesuai dengan misi dan visi Bentara Budaya yang cukup mulia. Kegiatan yang berlangsung bertujuan menggairahkan penciptaan seni, terutama yang kurang mendapat perhatian masyarakat. Bahkan film-film indie, karya keramik yang masih sulit dibedakan antara kreasi seni dan benda-benda gerabah fungsional, diwadahi oleh Bentara Bedaya yang bersiteguh dengan komitmen membela terpinggirkan.

Dalam pameran itu, ditampilkan para 6 pemenang kompetisi Triennal Seni Grafis Indonesia. Mereka adalah A.C. Andre Tanama (satu-satunya perempuan dalam pameran ini), Agus Yulianto, Arief Eko Saputro, Agus Prasetyo, Sri Maryanto, Syahrizal Pahlevi. Satu pemenang lagi, Agus Suwage tak mengirimkan karya. Penampilan karya mereka ditemani oleh empat pekerja seni grafis senior, yakni: Setiawan Sabana, Hariadi Suadi, Tisna Sanjaya, dan Agung Kurniawan.

Efix Mulyadi dari Kompas memberikan sambutan dengan menyampaikan harapan PK Ojong (pendiri Kompas) yang disampaikan oleh Efix, penikmat seni grafis jangan hanya mengunjungi pameran dan menulis apresiasinya, tetapi diwujudkan dengan membeli dan mengoleksinya. Malam itu tidak seluruh senimannya hadir karena berbenturan dengan jadwal kepentingan yang lain.

Seni grafis di Indonesia awalnya dipelopori oleh Mochtar Apin dan Baharudin Marasutan. Generasi sekarang seolah berhutang kepada mereka berdua. Seni grafis dianggap cikal bakal dunia percetakan. Ada beberapa macam teknik yang menjadi hulunya: cukil kayu (seperti stempel), cetak dalam (yang kini digunakan untuk teknik mencetak uang kertas), cetak saring (lebih dikenal dengan sablon, untuk kaos dan spanduk), cetak datar (etsa, dengan proses pengasaman). Memang, fungsi-fungsi seni grafis cenderung dekat dengan propaganda karena sifatnya yang masal dan berulang.

Dalam pameran yang dibuka untuk umum mulai 15 sampai dengan 23 Mei 2008 ini, terdapat dua mazhab karya. Di satu sisi, sang seniman bertahan dengan gaya hitam putih dan kontras, di sisi lain tampak aneka warna di atas gambar rumit dan detail. Sementara, Tisna Sanjaya justru menghadirkan eksplorasi yang seolah telah “mengkhianati” teknis seni grafis dengan memasang benda-benda seperti clurit dalam kanvasnya. Dari ukuran juga sangat variatif. Misalnya Arief Eko Saputro menyajikan karya-karya dengan kanvas mungil berderet, masing-masing berukuran 20 x 25 cm. Sedangkan sebagian yang lain, terutama tisna Sanjaya membuat cetakan di atas kanvas seluas 4 meter persegi.

Cukup menarik materi grafis yang dipamerkan, termasuk kemasan kotak sepatu (meskipun craftsmanship -nya kurang rapi). Para senimannya juga sebagian masih berusia muda. Bahkan Andre Tanama, jejaknya berserak dengan berbagai penghargaan menyusul kelulusannya yang menyandang gelar cum laude dari Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta. Patut diacungi jempol dengan “kekeraskepalaan” mereka bertahan pada cabang senirupa yang sampai hari ini belum banyak dilirik oleh orang. Akan tetapi aplikasi perkembangannya, terutama di bidang iklan dan percetakan, justru menghasilkan banyak uang. Ini mungkin menjadi sermacam ironi.

Setiawan Sabana, dosen FSRD Jurusan Seni Murni juga mengakui, bahwa seni grafis secara pergaulan dalam bidang seni yang akhir-akhir ini menjadi bagian dari bisnis, menempati posisi marginal. Malam itu dia hadir dan mencoba memberikan semangat kepada generasi berikutnya.



(Kurnia Effendi)

Kematian, Seni Grafis, Kita



Minggu, 25 Januari 2004,

MATA pisau cukil atau jarum etsa itu tidak seperti menggores-gores, mencabik-cabik, menyayati atau melukai persoalan yang ditawarkan tema trienal. Kedua alat tersebut agaknya cukup dimanfaatkan untuk berceloteh, mendesain, mungkin sebatas memelihara komposisi gambar.

Sebuah pelat kayu atau tembaga di sana berfungsi sebagai permukaan yang datar saja (dia kaku dengan bentuk persegi panjang, bujur sangkar, nyaris tidak ada karya yang menggunakan pelat bundar, segitiga, atau tanpa segi. Juga tidak ada pelat yang rusak karena cukil atau jarum). Saya paham bahwa ekspresi akan hilang di balik konsentrasi proses cetak grafis. Namun tema kematian pada Trienal Seni Grafis 2003 itu tidak kuasa menyembunyikan sisi ornamentiknya. Bahwa kematian dipahami sebatas hiasan-hiasan teknis untuk memberi ilusi kepada kita bahwa sebuah karya cetak grafis adalah kembali kepada kemampuan eksklusif milik sang pegrafis. Seni grafis menjadi demikian elite, padahal hakikat seni "nonauratik" itu tidak demikian awalnya.

Wacana seni grafis Indonesia membuka lembar baru dengan penyelenggaraan Trienal Seni Grafis Indonesia yang digelar sejak 2003 lalu. Inisiatif Bentara Budaya Jakarta patut dihargai mengingat "pembelaan" lembaga ini terhadap perkembangan seni grafis di Indonesia telah berlangsung hangat sejak empat tahun ke belakang. Saya kira merekalah kini lembaga di luar akademi yang paling signifikan setelah rontoknya beberapa komunitas seperti Decenta, Bienale Seni Grafis-1987 yang melahirkan manifes Masyarakat Seni Grafis, Red-Point, lalu pudarnya aktivitas Tjidamar-Rumah Grafis. Semuanya pernah bersemayam di Bandung.

Selain rontoknya komunitas-komunitas seni grafis, beberapa kekurangan lain di medan sosial seni grafis segera mencuat, yakni pertama dan utama soal pasar. Keluhan kurangnya minat terhadap karya grafis disinyalir Kaboel Suadi dan Ipong Purnama Sidhi di dalam acara pembukaan pameran trienal, 16 Januari (pameran di Selasar Sunaryo Art Space Bandung ini berlangsung sampai 31 Januari 2004). Beberapa analisis terhadap persoalan ini coba dikemukakan, antara lain mitos orisinalitas yang didominasi wacana seni lukis. Pasar agaknya sulit menerima sifat penggandaan (jumlah edisi) dalam sebuah karya grafis yang dituding menggerogoti nilai orisinalitas tersebut.

Dari sekian survei saya pribadi, pasar terbilang langka menunjang transaksi pembelian karya seni grafis. Di pihak lain, sifat penggandaan dalam karya cetak grafis justru mengandaikan keterjangkauan pasar. Katakanlah, harga sehelai cetakan grafis akan jauh lebih murah. Dahulu pernah beredar rumor bahwa sehelai karya cetak grafis layak dihargai sekitar Rp 500.000-Rp 750.000. Logika demikian rupanya berbanding terbalik dengan fakta yang ada karena rupanya pasar selalu bergerak dengan logikanya sendiri.

Kedua, soal penyebaran pemahaman proses cetak sebuah karya grafis. Meski berulang kali katalog pameran grafis yang saya temui memuat teknik-teknik pengerjaan karya grafis, tidak serta merta membuat orang paham begitu saja tanpa pernah masuk ke ruang studio grafis. Dibandingkan dengan melukis, proses mencetak grafis secara terbalik menjadi "elitis", sulit disentuh. Bahkan berlaku pula dalam proses apresiasinya. Sepertinya hanya mereka yang memiliki mesin cetak (press), ruang pengasaman (misalnya, untuk etsa), limestone (untuk litografi), ruang gelap (untuk silk screen, sablon) saja yang bisa bekerja grafis. Dan sepertinya hanya mereka yang mengerti seni cetak grafis saja yang bisa menikmati sensasi asam (acid) menggigit pelat tembaga di sebuah karya etsa.

Sementara tawaran yang lebih "demokratis" diwakili teknik cetak tinggi (misalnya woodcut, linocut, hardboardcut). Tanpa harus memiliki mesin cetak (press), teknik ini bisa dikerjakan secara manual dengan sendok, baren, atau "cetak injak" (menginjak-injak kertas dan pelat kayu secara bersamaan, terutama jika bidang pelat cukup besar). Tidak heran, teknik cetak tinggi banyak ditemui di mana-mana. Tidak heran pula jika pada trienal kali ini teknik cetak tinggi sangat dominan (catatan saya, hanya seorang finalis yang mengerjakan teknik litografi).

Ketiga, soal kritik seni grafis di media massa. Tulisan-tulisan yang merisalahkan seni grafis terbilang miskin. Namun masalah ini segera dipahami dengan fakta minimnya pameran-pameran seni grafis oleh individu atau kelompok. Sebuah pameran seni grafis akan selalu menggandeng "polemik intern" seni grafis terutama pengutamaan di antara representasi karya atau teknik karya. Beberapa orang cenderung memfokuskan diri pada teknik, beberapa lagi lebih mementingkan praktik pemaknaan yang direpresentasikan karya.

Sebagai misal, mari kita bayangkan: sebuah karya grafis dengan teknik color litografi bergambar pemandangan alam (sawah, gunung, dan awan). Hal apa yang bisa kita tarik demi melihat karya tersebut, teknik menumpuk warna litografinya ataukah makna "representasi" pemandangan? Umumnya pegrafis ingin dilihat dari totalitas kedua aspek tersebut. Ada juga pegrafis yang meyakini bahwa kesempurnaan teknis adalah segalanya dan dijadikan idaman. Tidak jarang, dalam kacamata ini, sebuah karya cetak grafis secara teknis bisa dinyatakan "salah" atau gagal.

Namun praktik pemaknaan terkadang menjauhi persoalan itu. Misalnya, apakah kita akan mempersoalkan pemilihan jenis cat atau kanvas di lukisan Affandi? Sejauh yang saya telusuri tidaklah demikian. Kini, terbilang langka kritikus yang mempersoalkan lagi perkara-perkara seputar teknis lukisan. Sebaliknya dalam proses cetak grafis, kesalahan teknis sekecil apa pun itu akan mudah terlihat (misalnya pelat yang bergeser dalam karya color woodcut, warna pucat karena torehan jarum yang kurang dalam, karena kertas yang kurang kelembabannya atau kualitas cat yang dipakai). Cacat teknis adalah masalah besar di seni grafis terutama menyangkut proses di tahap penggandaannya. Ini sangat sensitif, meski (lagi-lagi) tidak semua orang bisa menemukan kesalahan teknis itu dalam sebuah cetakan karya. Sebaliknya lagi, kita tidak pernah mempersoalkan "kesalahan" teknik watercolor (yang tentunya berbeda dengan teknik cat minyak atau akrilik) dalam sebuah karya lukis, misalnya. Padahal, saya yakin seorang sarjana seni lukis akan mudah menemukan kesalahan teknis tersebut pada sekian banyak karya lukis seniman kontemporer yang malang-melintang di sekitar kita.

DAN kini soal tema yang menjadi panduan dasar trienal. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah: mengapa harus mengutamakan Käthe Kollwitz, mengapa mesti ihwal kematian? Karya apa sih yang diharapkan terjadi dalam trienal ini?

Tema itu dipicu esai Enin Supriyanto: Kollwitz, Kematian, dan Kita dan esai filsafat F Budi Hardiman: Melampaui Mengingat, dan Melupakan; Diskursus tentang Detraumatisasi. Kedua esai tersebut menjadi acuan arah berkarya bagi calon finalis trienal. Jelas, calon finalis diandaikan "mampu" menafsirkan tema trienal.

Saya akan fokus pada tulisan Enin menyangkut Käthe Kollwitz meski tertera nama lain seperti Jacques-Louis David, Goya dan Picasso seputar karya seni dan kematian. Dalam esainya- sebuah paparan kehidupan dan karya Käthe Kollwitz yang konon cakap mempersoalkan "kematian"-Enin seperti tidak siaga mencium dampak "stereotip" kematian dengan membawa-bawa "roh" Kollwitz secara mistis lalu mencari konteks "rasionalnya" di ranah sosial-budaya Indonesia kontemporer.

Saya mencatat, hampir seluruh para finalis itu memfokuskan diri dengan "ilustrasi" sosok manusia yang "sedang mati", ikon militer, simbol-simbol kekerasan yang telah berlalu, malaikat pencabut nyawa, simbol harapan (kehidupan itu sendiri), labirin-labirin, deformasi tulang-belulang, lazimnya gemuruh ikon seni sosial politik pasca 1998 lalu. Bahkan ada karya yang mutlak "meniru" estetika legendaris Käthe Kollwitz. Akibatnya, komunikasi tema yang dibangun menjadi sebuah tafsir atas tafsir yang sudah fixed tentang kematian, terlampau jelas bagi sebuah soal yang memang sudah jelas, cenderung klise meski beberapa karya tampak berbelit-belit. Kematian di sana akan sulit bersaing dengan "buyut" seni grafis: rekaman video, yang tangkas, begitu nyata dan vulgar di stasiun televisi setiap hari, kematian yang lengkap dengan cipratan darah dan emosi.

Dengan anasir lain, "teks kematian" sebagai "kematian" pada trienal berhenti sebatas "model" penggambaran "peristiwa kematian", tentu dengan segala rupa kenaifan produksi simbolnya. Saya diombang-ambingkan antara "kenikmatan" teknik para finalis, representasi visual dan ingatan atas kepiawaian seorang Käthe Kollwitz yang bahkan cermat merekam "model" pakaian orang Jerman di masanya. Sebuah "kenikmatan" yang rasanya mencairkan banyak hal dan bersifat ilusif, mengingat tafsir sosiologis para finalis itu cenderung mengawang-awang. Entah siapa dan di mana gerangan sosok manusia pada karya grafis di sana (manusia di alam kubur, kah?).

Pada gilirannya, "stereotip kematian" banyak kita jumpai hampir di setiap karya para finalis. Karya-karya itu memang berhasil "mendikte" renungan kita terhadap kematian (sosok rebah, latar gambar yang gelap-pekat dan lain-lain). Luputnya Enin, saya kira "stereotip" tentang kematian terjadi juga di setiap karya Kollwitz.

Untuk mempersingkat, saya hanya hendak ceritakan bahwa di suatu pagi musim dingin ketika antrean pasien-pasien miskin itu gelisah menunggu panggilan dokter, di sebuah sudut berbeda seorang ibu dan anak ikut antrean. Ruang tunggu itu lembab, sendu, lantainya berderik. Tidak lama seorang wanita bermata sayu dari balik pintu mempersilakan masuk. Bukan sang dokter yang muncul. Wanita itu adalah Käthe Kollwitz. Adapun si anak dan ibu adalah bakal model gambar yang telah jadi langganannya di studio, bersamaan dengan kesibukan praktik suaminya yang dokter di Jerman. Setelah sketsa di kertas terjadi, Kollwitz lalu menanyakan kesediaan ibu itu untuk mencarikan model lain untuknya. Untuk itulah, dalam catatan hariannya, berulang kali Kollwitz berusaha menepis kritik orang terhadap "kabar kematian via studio"-nya itu. Sebuah pernyataan gamang dan retoris pernah ditulis Kollwitz, "Setiap hari saya selalu berwawancara dengan kematian…."

SEPAKAT dengan FX Harsono (baca Kompas, Minggu 19 Oktober 2003), saya berusaha percaya bahwa ada cara yang lebih kreatif untuk melihat dan merepresentasikan kematian tanpa dijangkar, yang secara langsung berasosiasi pada karya dan sosok Käthe Kollwitz. Lagi pula, sebuah event trienal mungkin terlalu sempit sekaligus berlebihan jika hanya berisikan karya- karya tafsir kematian yang melankolis. Dan saya yakin kontemplasi dalam diri setiap orang untuk menyiapkan kematiannya selalu berbeda-beda, tidak mesti "mengonsumsi" karya seni.

Sepertinya penggalan nasihat F Budi Hardiman ini akan sangat bertolak belakang dengan kegaduhan tafsir (prasangka yang stereotip) di karya-karya itu: "Tetapi, dengan mendengarkan, yaitu menyimak baik-baik, prasangka dikenali sebagai prasangka. Karena itu, untuk menepis prasangka, orang harus berlatih menjadi pendengar yang baik. Untuk itulah diam".

Aminudin TH Siregar Dosen Seni Rupa, ITB

Suromo, Seniman Pelopor Seni Grafis Cukil Kayu Itu Telah Tiada


Kamis, 23 Januari 2003, Yogyakarta,Kompas - Perupa Suromo Darposawego (1919-2003), yang pernah hidup berkesenian bersama almarhum Affandi, H Widayat, hari Rabu (22/1) siang pukul 13.30 meninggal dunia setelah dua tahun menderita sakit. Tak ada kebesaran yang ditinggalkan oleh almarhum yang tinggal di daerah Lempuyangan, Yogyakarta, ini selain nama besarnya sebagai seniman yang sering dijuluki sebagai penggali ide-ide baru tentang dunia seni rupa, mulai dari seni lukis, patung, relief, ahli keramik, dan yang utama adalah pelopor seni grafis cukil kayu (wood cut).

"Kebesaran bapak adalah sikap pamomong-nya kepada anak-anaknya. Kendati hidup menderita dengan tujuh anak, bapak selalu sabar dalam memberikan kasih sayang untuk keluarga. Bapak juga punya sikap nrimo, apa pun yang terjadi dalam keluarga selalu ia terima sebagai bagian dari kehidupan," kata Reko Ananto Mulat (44), salah satu anak sang perupa.

Didampingi kakaknya, Niken Anjarwulan (50), Reko menambahkan, ayahnya yang akan dikebumikan hari Kamis, 23 Januari, pagi ini, tidak dimakamkan di kompleks Makam Seniman Imogiri Yogyakarta, namun akan dimakamkan di pemakaman kampung Lempuyangan. "Di samping dekat dengan kerabat, ibu juga tidak terlalu kejauhan jika menjenguk bapak," ujarnya.

Pelukis Djoko Pekik yang banyak mengetahui kehidupan almarhum menyatakan, almarhum adalah tokoh lama, tokoh karya grafis dengan cukil kayu, tokoh Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) dan juga anggota Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Namun, di hari tuanya menjadi terlupakan karena peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Dia menjadi minder dan trauma karena namanya tidak lagi kuat terekspos. Dia pun menjadi seniman yang kurang gaul, dan itu sangat berpengaruh pada karya-karyanya.

Pelukis Marah Djibal menyebutkan bahwa almarhum dikenal juga sebagai seniman yang selalu menggugat untuk terus belajar. Marah Djibal adalah pelukis yang pernah diajak oleh Suromo mengerjakan proyek relief di VIP Room Airport Kemayoran (1957-1959), proyek relief di Kebun Binatang Surabaya, dan membuat relief di Gombong (1959-1960).

Seniman Jim Supangkat, ketika memberi kata pengantar dalam pameran tunggal Suromo di Galeri Lontar, Jakarta, tahun 1998, mencatat ulasan Sanoesi Pane saat Suromo mengikuti pameran Seni Rupa Modern Indonesia tahun 1941. Dalam ulasannya, Sanoesi Pane menyatakan, Suromo adalah seorang perintis seni rupa modern Indonesia.

Menurut dua anaknya, Niken Anjarwulan dan Reko Ananto Mulat, bapaknya tidak meninggalkan kekayaan apa-apa selain karya-karya lukis yang dipajang secara sembarangan di rumahnya yang sangat sederhana. "Kendati sudah tua, sampai akhir hayatnya bapak tetap terus berkarya. Jarang sekali bapak keluar rumah, selain menggambar. Tidak lagi membuat cukilan kayu, tetapi karya lukis cat minyak. Umumnya karya lukisnya realis," kata Reko. (TOP)

Pameran Langka Setengah Hati


Pameran Seni Grafis Indonesia mulai menunjukkan perubahan sikap, tapi tampak masih setengah hati. Seni grafis tetap menjadi seni kelas dua.
Pameran Grafis Indonesia
Karya: 48 perupa grafis Indonesia
Waktu: 23 Februari - 4 Maret 1999
Tempat: Taman Ismail Marzuki, Jakarta


SETIAP kali berlangsung pameran eni grafis, selalu muncul keluhan klise bahwa seni grafis adalah seni kelas dua. Keluhan ini selalu dihubungkan dengan apresiasi khalayak seni rupa terhadap karya seni grafis dibandingkan dengan terhadap karya lukis. Keluhan ini nyaris menjadi tipikal psiko-kreatif seniman grafis. Tampaknya ada kompleks rendah diri yang tak akan pernah berakhir. Akibatnya, frekuensi pameran seni grafis bisa dihitung dengan sebelah jari. Data yang disodorkan Sulebar Soekarman, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, justru lebih mendramatisasi keluhan itu. Dalam kurun 10 tahun belakangan ini, pameran seni grafis baru diselenggarakan dua kali, pada 1986 dan sekarang. "Memang, ada beberapa pameran tunggal dan kelompok di Jakarta, Bandung, Yogya, dan Surabaya, tapi kelihatan tak begitu memberikan motivasi atau semangat untuk berkembang seperti halnya pada pameran seni lukis," demikian tutur Sulebar melalui kata pengantarnya dalam katalog pameran.

Macetnya pamor seni grafis juga tampak pada tulisan atau ulasan di media massa yang kering dan hanya berkutat pada persoalan teknis. Namun hal ini bisa dimengerti karena karya seni grafis umumnya kurang melakukan eksplorasi di luar wilayah teknis. Contohnya, aspek tema yang paling banyak muncul adalah tema dengan magnitude yang rendah. Umumnya, tema yang tampil pada karya grafis adalah persoalan yang sangat pribadi dan tak memiliki paradigma komunal yang tajam. Bahkan, ada yang hanya mengeksplorasi elemen bentuk, misalnya pada karya Diddo Kusdinar berjudul Composition # 1 dan karya Freddy Sofyan berjudul Stone Image. Memang, ada juga beberapa karya yang berupaya memasuki tema sosial, misalnya karya grafis dengan teknik media campur Tisna Sanjaya berjudul Proyek Percontohan Monumen Pembusukan (1998), karya Haryadi Suadi berjudul Penyakit Para Penguasa (1998), karya Arief Eko Putro berjudul Ketika Tidak Enak Melihat, Mendengar, dan Membaca (1999), karya Humanoko Al Farabi berjudul Satu Induk Lain Paruh (1998), dan karya Agung Jaya berjudul Bayang-Bayang Aktor Intelektual (1998).

Sebagian besar peserta pameran memang masih mengeksplorasi teknik grafis konvensional. Walau demikian, pameran grafis ini sudah lebih maju dengan memasukkan karya grafis media campuran (artinya, tidak hanya menggunakan teknik grafis konvensional). Namun agak mengherankan jika tim kurator masih juga membatasi eksplorasi medium. Di satu sisi, tim kurator (Setiawan Sabana, Sulebar Sukarman, Mara Karma, Rujito, Sukamto) menerima teknik grafis komputer (Woman Tradition II, karya Tris Neddy Santo) dan teknik body print (Proyek Percontohan Monumen Pembusukan, karya Tisna Sanjaya), yang sebenarnya sudah mulai menyempal dari prinsip teknik grafis konvensional, atau juga teknik cukil kayu yang banyak digunakan perupa grafis Yogya dengan hasil cetakan yang tebal, bertekstur, dan bisa menghasilkan cetakan yang berbeda pada setiap edisi. Namun, di sisi lain, tim kurator tak memberikan tempat kepada perupa yang menjadikan teknik grafis sebagai salah satu teknik dalam karyanya. Padahal, Setiawan Sabana dikenal sebagai seniman grafis yang sangat terbuka dengan gagasan liar dalam seni grafis (sebuah karya grafis instalasinya, Monumen Kertas?tidak ada dalam pameran ini?merupakan eksplorasi yang radikal).

Kalau maksudnya ingin menjadikan pameran ini sebagai pameran yang menjaga kemurnian konvensi teknik grafis?jika konsekuen, ini juga bukan pilihan yang jelek?karya Tisna Sanjaya, atau karya grafis teknik cukil kayu bergaya khas Yogya, seharusnya ini ditolak. Namun tim kurator tampaknya setengah hati ketika berhadapan dengan perkembangan seni rupa kontemporer, yang tak lagi mempertahankan sekat-sekat yang secara ketat membatasi setiap medium ekspresi. Contohnya terlihat pada karya Tisna Sanjaya, atau bahkan Setiawan Sabana, yang hanya memperlakukan teknik grafis sebagai bagian kecil dari karyanya. Kalaulah cara yang gagap itu yang dijadikan pedoman, setiap kali penyelenggaraan pameran seni grafis tentu tak akan pernah lepas dari keluhan klise tadi: seni grafis adalah seni kelas dua.

R. Fadjri

Sub Kultur Grafis, tawaran untuk melawan mati suri


Oleh: Agung kurniawan

Hanya ada satu pameran grafis sepanjang tahun 2004. Akan tetapi ada puluhan atau mungkin ratusan kali pameran lukisan dan varian-variannya. Seni grafis atau seni cetak mungkin ditakdirkan mati cepat, hidup sesaat mati secepat-cepatnya, ia tidak pernah bisa tune in dengan medan seni rupa di Indonesia.
Tulisan ini berisi tentang sebuah pengalaman yang terjadi lebih kurang 10 tahun yang lalu, waktu penulis masih kuliah di Institut seni Indonesia Yogyakarta.

Ketika pertama kali masuk jurusan seni grafis di sebuah sekolah seni di Yogyakarta, beberapa teman menertawakan pilihan saya,” mana mungkin kertas mu bisa dijual,…”, bagi teman-teman yang tidak akrab dengan medan seni rupa di Yogyakarta menjual karya atau bisa hidup lewat karya seninya adalah kebanggaan terbesar. jauh lebih bermartabat dari seorang yang mengharapkan gaji setiap bulan. Saya waktu itu benar-benar tidak bisa menjawab sindiran itu. Persoalannya adalah hal itu tidak pernah terlintas satu inci pun di kepala saya, saya hanya ingin menjadi seniman yang sebisa mungkin tidak melukis. Pelukis itu bodoh ( saya kutip dari ungkapan marchel duchamp saya lupa di buku atau majalah apa) mengendap atau lebih tepatnya mengerak di kepala saya, sehingga ketika saya kemudian sadar bahwa berkarya di atas kertas berakibat tidak laku, tidak saya hiraukan.

Sejak kuliah saya memang merasakan rasa rendah diri di jurusan seni grafis. Dosen-dosennya sebagian adalah para pecundang yang bahkan tidak bisa membuat karya seni . Sebagian lagi cukup bagus sebagai pengajar dan sebagian kecilnya sibuk dengan hal-hal lain yang tida ada hubungannya dengan pendidikan. Sebagai murid kami harus mampu memotivasi diri, untuk menjaga supaya tidak larut dalam iklim inferioritas itu. Kami menghidupkan studio grafis di pojok ruang seni grafis, mengadakan pameran di gang, mengadakan diskusi, pendeknya menampakkan bahwa mahasiswa seni grafis bukanlah kumpulan para pecundang. Para mahasiswa bau kencur itu berhasil mengadakan pameran restropeksi 40 tahun grafis yogya (1996, Purna Budaya, Yogyakarta), dengan swa daya dan swa dana. Salah satu sumber idenya adalah karena kami mampu membongkar ruang peyimpanan koleksi jurusan seni grafis dan menemukan koleksi grafis bertumpuk lengket satu sama lain, terserak seperti sampah . Kami “membaca” temuan kami, waktu itu istilah kurator baru saja “ditemukan”, dan memamerkannya kepada publik. Beberapa tahun kemudian Bentara Budaya Jakarta melakukan hal yang lebih kurang serupa dengan dana yang lebih besar.

Semua tindakan di atas pada dasarnya adalah laku mempertahankan diri dari lingkungan “kejam”, dominasi para pelukis kanvas. Saya rasa kami berhasil dalam skala tertentu, karena kami kemudian bisa “menghina” para pelukis itu sebagai gerombolan orang bodoh yang terampil (beberapa tahun kemudian teman-teman saya ini mulai juga melukis untuk menghidupi anak dan istrinya, karena menjadi lebih tua sedikit lebih arif saya bisa mengerti pilihan mereka). Tahun-tahun itu saya menghasilkan banyak sekali karya grafis. Pameran tunggal pertama misalnya dipenuhi dengan etsa, hardboard cut dan sebagian lagi drawing. Itu adalah tahun-tahun terbaik bagi karier saya sebagai seorang seniman muda. Kami tidak sadar apa yang kami lakukan adalah proses pembentukkan sebuah sub kultur. Di tengah dominasi para “pengrajin kanvas” itu kami merekayasa sebuah komunitas yang berpusat pada penghargaan kertas dan tinta cetak. Tidak cukup hanya dengan memproduksi kami pun menyelenggarakan pameran dan “pembacaan”. Beberapa tahun kemudian saya sadar bahwa inilah kunci dari pemberdayaan seni grafis, pembentukkan sub kultur. Sub kultur seni grafis yang terpisah dari mainstream seni lukis dan variannya.

Mainstream mau tidak mau akan berpihak kepada pasar, sulitlah di bayangkan jika mereka harus meluangkan waktunya untuk berpihak pada seni pinggiran semacam seni grafis misalnya. Sehingga dengan membentuk sebuah “kurang lebih komunitas” seni grafis maka dengan sendirinya akan terbentuk infrastruktur penyangga; penonton, kritikus, seniman, dan akhirnya para pembeli. Komunitas mandiri semacam ini banyak sekali dipraktikkan sekarang ini, terutama pada komunitas gaya hidup; kelompok musik, Punk, vegetarian, sekte agama tertentu sampai pada distro! Sub kultur seni grafis dapat dimulai dari kampus-kampus seni, tidak bisa dipungkiri stake holder seni grafis indonesia adalah mahasiswa seni grafis itu sendiri, dan dari situ gerakan ini dapat diperbesar.

Apa yang kami lakukan lebih kurang 10 tahun yang lalu memang sporadis didasari oleh spontanitas mahasiswa yang dipenuhi idealisme yang berlebihan, akan tetapi ditengah mati surinya seni grafis cara-cara diatas bisa dijadikan semacam studi kasus. Bahwa seni grafis haruslah (untuk kepentingan strategis tertentu) diperlakukan berbeda dengan mainstream , perbedaan itu harus “dipolitisir”. Hanya dengan cara itulah maka seni grafis bisa dicatat kembali, dan tidak terhapuskan dari medan seni rupa Indonesia, atau setidaknya bisa men-derau ditengah suara-suara seragam seni lukis anak emas seni rupa kotemporer Indonesia.

sekian

Seni Grafis Ibarat Anak Tiri dalam Seni Rupa Indonesia


Selasa, 27 Mei 2008 | 20:30 WIB , YOGYAKARTA, KOMPAS - Apresiasi terhadap seni grafis sebagai salah satu bidang dalam seni rupa sangatlah minim dibanding seni lukis dan patung. Hal tersebut terbukti dari rendahnya intensitas penyelenggaraan pameran seni grafis.

"Dalam setahun, pameran untuk seni grafis di Yogyakarta paling hanya satu kali, sedangkan pameran seni lukis bisa empat kali dalam sebulan," ujar kurator pameran seni grafis bertajuk "Departemen Sosial" AC Andre Tanama, di Galeri Biasa, Yogyakarta, Senin (26/5). Pameran yang berlangsung sejak tanggal 24-31 Mei ini diikuti 26 mahasiswa Jurusan Seni Murni angkatan 2005-2007 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Menurut Andre, frekuensi pameran mengindikasikan tinggi rendahnya apresiasi terhadap suatu karya seni. "Hal ini, kan memperlihatkan sejauh mana karya seni diterima oleh masyarakat dan direspons oleh pasar," ujar pengajar seni grafis di Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta ini.

Andre menuturkan, sedikitnya pameran seni grafis ini bisa disebabkan dua hal, yaitu seniman grafis yang merasa rendah diri karena karya seni grafis dianggap banyak kalangan sebagai "anak tiri" di bidang seni rupa dan dominasi karya seni lukis di kancah seni rupa sehingga lebih banyak pameran yang diadakan untuk seni lukis.

Andre mengakui bahwa karya seni lukis memang lebih populer dibanding karya seni grafis. "Harga karya seni lukis pun lebih tinggi dibanding seni grafis," ucapnya.

Direktur Program Pascasarjana ISI Yogyakarta M Dwi Marianto mengungkapkan, karya seni grafis memiliki nilai jual lebih rendah dibanding seni lukis karena karyanya dianggap bisa direproduksi, tidak seperti karya seni lukis yang tunggal. "Padahal, sekarang ini banyak karya seni grafis monoprint yang tidak bisa digandakan," katanya. Pelukis

Akibatnya, lanjut Dwi, banyak seniman grafis yang beralih menjadi pelukis atau pematung karena nilai ekonomi dari karya yang dibuat. "Para seniman ini, kan juga butuh survive," ujar Dwi. Untuk mengangkat kembali karya seni grafis, kata Dwi, perlu diadakan pameran seni grafis secara intensif dan konsisten.

"Agar masyarakat terbiasa dengan karya seni grafis. Dengan begitu, pasar akan terbentuk dengan sendirinya," kata Dwi.

Bayu Aji Suseno (21), mahasiswa minat utama Seni Grafis Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta yang menjadi peserta pameran ini, mengakui dengan adanya pameran ini diharapkan dapat mengangkat seni grafis di mata masyarakat.

"Selain itu, saya ingin menunjukkan ragam karya seni grafis lewat karya saya," ujar mahasiswa angkatan 2005 yang menampilkan karya seni grafis dengan unsur seni instalasi dalam pameran ini. (A06)

SEPTIAN ARIFIANTO


SEPTIAN ARIFIANTO



yes i am
hardboardcut 4/4
22x18

GILANG FRADIKA




tiket to ride
hardboardcut on paper
2009

GILANG NUARI


Prison

2009

ROSI ALAM FIDIANSAH








Minggu, 01 Maret 2009

presentasi karya dan diskusi seni grafis

Minggu, 1 maret 2009, suasana presentasi karya seniman dalam pameran seni grafis "hangout". Dilanjudkan denagn rerasan seni grafis dan kondisi komunitas seni grafis.


mas..mas.. iki studione yo?
emmh, lumayan sih dik... yp fleksibel ae...HALAH...
ning apik-apik.. sip kok mas..
matur nuwun..