Senin, 02 Maret 2009

Seni Grafis Makin Diminati Meski Sulit Memasarkan Karyanya







Bandung, Kompas - Seni grafis yang rumit dalam pengerjaan, tetapi sulit dipasarkan di Indonesia, ternyata diminati anak-anak muda. Di masa datang, pegrafis Indonesia memiliki peluang berkarya di luar negeri.

Tisna Sanjaya, seniman grafis asal Bandung, yang juga dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (22/11), di Galeri Rumah Teh, melaksanakan syukuran babak baru kehidupan keseniannya.

Karya-karya grafisnya yang dibuat dari masa kuliah hingga tahun 2006 ditukar dengan sebuah mobil baru berharga ratusan juta rupiah. Selama ini karya grafis sulit dijual di Indonesia.

Menurut Tisna, barter karya seni dengan karya industri yang dilakukannya adalah sebuah cara agar seni grafis dikenal publik. Selama ini di Indonesia seni grafis dinilai sebagai seni kelas dua.

Pembeli karya Tisna akan menjadi manajer bagi Tisna agar karya- karyanya bisa dikenal dunia. Tisna berharap bisa bekerja dalam waktu tertentu di studio-studio di luar negeri, lalu kembali ke Indonesia. Tidak seperti di Indonesia, di luar negeri, seperi Belanda, Jerman, dan Jepang, banyak terdapat studio grafis.

"Saya berharap pegrafis Indonesia tidak mengandalkan infrastruktur seni grafis di Indonesia yang lingkungannya kurang kondusif. Mereka bisa berkarya di studi-studio di luar negeri sehingga pegrafis Indonesia suatu saat bisa dikenal di dunia internasional," kata Tisna.

Menurut Tisna, semakin banyak mahasiswa yang berminat mempelajari seni grafis. Dicontohkan, di ITB jumlah peminat seni grafis makin banyak meskipun tidak semua lulusannya memilih menjadi pegrafis karena kerumitan proses kerja dan alat seni grafis.

"Saya menduga banyak anak muda yang tertarik menjadi mahasiswa seni grafis karena melihat dosen-dosennya masih terus berkarya," kata Tisna.

Sementara itu, mengenai sedikitnya mahasiswa seni grafis yang melanjutkan profesi sebagai pegrafis, Tisna mengaku belum mengetahui pasti penyebabnya. Namun, diperkirakan karena sulitnya menjual karya grafis.

Namun, ia optimistis di era digital, karya grafis manual, seperti seni grafis, akan makin dicari dan dinilai sebagai barang antik. Tisna mengaku mendalami seni grafis karena menyukai proses pembuatannya yang rumit.

Menurut Isa Perkasa, kurator Galeri Rumah Teh, galerinya mengadakan pameran seni grafis sekitar dua kali dalam setahun. Menurut dia, seniman grafis masih sedikit. "Orang yang mempelajari seni grafis biasanya kalau sudah lulus pindah jalur, tidak lagi menjadi pegrafis," kata Isa.

Isa mengatakan sedikitnya orang memilih menjadi seniman grafis karena rumitnya proses kerja seni grafis. Untuk membuat karya etsa, seseorang harus menoreh pelat, lalu mengasamkan, dan mencetaknya. Dibutuhkan studio khusus, tidak mungkin melakukannya di rumah. "Zat asam yang digunakan bisa mengganggu pernapasan anggota keluarga," ujarnya.

Isa yang pernah mendalami seni grafis akhirnya pindah jalur dengan alasan yang sama. Menurut Isa, dalam sekali pengerjaan karya, biasanya dibutuhkan waktu rata-rata sekitar dua minggu. Selama ini karya seni grafis yang dipamerkan di Galeri Rumah Teh biasanya dijual dengan harga Rp 2 juta-Rp 3 juta per karya. (ynt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar