Senin, 20 April 2009

pameran seni grafis Hangout#2



pameran seni grafis Hangout#2

Anton Subiyanto, Danang Catur, Daniel Timboel, Fajar Khuting, Ismu Ismoyo, Ucup, Maryanto, Rosi, Shigit tehno, Sigit Bapak, Dedi Prasetyo, Gilang Fradika, Gilang Nuari, Sandy, Septian Arifianto, Utin Rini.

Jumat, 17 April 2009

hangout #1



30x40cm
silkscreen on paper
2008

Judul : “belajar bergrafis”
Ukuran : 20 x 20 cm (11 panel)
Media : hardboardcut on paper
Tahun : 2009

Inilah kata lelah untuk sebuah rutinitasku terdahulu dan hal baru selalu menjadi sebuah pemaknaan baru dalam perjalanan kreatifitas maupun intensitas ini.

rosi alam fidiansah




“home #?”
hardboard cut on paper
ukuran 17 x 24 cm (4 panel)
tahun 2009


Rumah…
Ada orang yang bilang, rumah adalah tempat anda lahir dan dibesarkan, ada juga yang mengatakan bahwa rumah adalah tempat dimana hatimu berada.
Bagiku rumah seperti layaknya sebuah ‘ruang’. Ruang dimana segala sesuatu dapat tinggal. Apakah sesuatu itu akan terus menetap atau tidak. Bungkus rokok adalah rumah bagi setiap batang rokok yang ada didalamnya. Tube, kaleng, atau plastik adalah rumah bagi cat, air atau apapun yang dikemas dalam benda tersebut. Begitupun dengan iga berbalut otot merupakan sebuah rumah yang nyaman dan aman bagi segala organ yang ada didalamnya.

Dalam karya yang berjudul “home #?” merupakan sebuah refleksi dari beberapa jenis rumah selain dari pada rumah yang biasa kita sebut dengan ‘rumah’, dalam tulisan ini kalimat teratas.

Pencarian ruang dengan raga yang selalu berpindah tempat dengan membawa banyak mimpi untuk segera dirasa nyata. Akan tetapi kepala tertinggal dan selalu merasa terikat dan terbelenggu dengan rumah utama yang ditinggalkan.

Sebuah ruang yang menawarkan gelak tawa yang terus menerus membuat hati kita terhibur. Dalam rumah ini selalu terkondisikan untuk selalu menggelinding riang dan akan terus seperti itu tanpa memikirkan kepentingan yang lain. Dunia luar penuh sesak dengan kepala penuh kebutuhan dan kepentingan dibalik tingkah tindakannya. Sedangkan yang ada didalam rumah secara sadar mentertawakan si berjuta kepala yang lalu lalang di depan mereka. Merasa hanya mereka yang menikmati hidup, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa merekalah yang tertinggal dan berkaca mentertawakan diri sendiri.

Sangat berbeda dan bertolak belakang dengan ruang yang selalu menawarkan otak untuk selalu bekerja keras dengan banyak permasalahan, entah yang dibuat sendiri atau yang menghampiri. Selalu bergelut dengan permasalahan untuk mendapatkan pemecahan dan mendapatkan masalah yang baru lagi. Hingga kesenanganpun terangkat ketika permasalahan akan terus datang dan hampa tanpa ada yang harus dipecahkan.

Semua yang hidup selalu mencari ‘ruang’ yang diimpikan. ‘Surga’ tiap orang sangatlah berbeda, atau mungkin ada beberapa kesamaan dan itu merupakan hal yang hakiki… yakni dalam ruang tersebut dia dapatkan bahagia, nyaman, sejahtera, tentram, damai dan lain sebagainya. Harus disadari bahwa untuk mendapatkan itu semua sangatlah butuh peras tenaga dan pikiran tentu saja. Sebagaimana manusia yang dapat berpikir pasti akan terus memperjuangkan dan bergelut demi ‘surga’ sesuai dengan versinya. Kejarlah ‘surga’mu dengan menatap realitas kehidupan yang sedang dijalani. Perjuangkan….bukan hanya terus memimpikan….
‘surga’ bukan dalam konteks perjalanan akhir setelah mizan

hangout #2

MENJADI PEMBERONTAK KREATIF:

Sebuah tawaran bagi seniman grafis melawan Mainstream



Oleh: Wiranto



1.

Seni grafis yang secara teknis cenderung rumit dan dianaktirikan oleh pasar ternyata bisa menjadi subkultur baru dimana spirit-spirit seniman muda bisa disemaikan. Kelemahan yang selama ini ada, justru ditasbihkan sebagai penanda baru bagi sebuah atmosfer ekspresi. Kecenderungan nir-pasar seni grafis alih-alih bisa dilihat sebagai medan potensialitas tanpa batas untuk semakin membumikan seni grafis itu sendiri. Inilah esensi Hang Out, sebuah kondisi nol yang merupakan sebuah turning point untuk secara bebas melayangkan pandang ke segala arah guna mencari perspektif estetik baru. Memasukkan segala alternatif yang mungkin, melebarkan sudut tatap dan meleburkan sekat-sekat estetis yang dimunculkan oleh arus utama (mainstream).



2.

Pemberontakan-pemberontakan kreatif semestinya menjadi nafas komunitas yang sedang menjalani fase Hang Out. Membangun habitusnya sendiri guna memunculkan seperangkat norma estetis baru untuk merongrong narasi besar. Menyebarkan virus-virus kegelisahan, dan pada akhirnya mendongkel kemapanan arus utama. Sebuah lompatan kuantum yang dimulai dari Hang Out. Mimpi? tidak! Khayalan? sekali-kali bukan!

Hukum estetika tak berkelindan jauh dari hukum alam. Hukum alam sendiri mengenal apa yang disebut Teori Chaos. Salah satu ajaran yang dikumandangkan berbicara tentang begitu pentingnya aksi-aksi kecil dalam mempengaruhi akibat besar. Ajaran ini bisa memberikan komunitas kecil dan terpinggirkan untuk memberikan sumbang sistem bagi lancarnya tata sistem yang lebih luas. Bisa memacu komunitas-komunitas ini untuk bersuara lantang di depan kekuasaan, memberikan gangguan berarti untuk penguasa. Bagai gigitan nyamuk di pantat Barrack Obama atau suara kentut pada jamuan makam malam para pemimpin KTT G 20. Sebuah peristiwa sekecil dan sesederhana apapun akan mempengaruhi struktur besar alam. Pilihan sederhana untuk memilih ruas kanan atau ruas kiri yang diambil saat tiba di sebuah persimpangan akan menentukan konstelasi kehidupan seseorang. Siapa yang berani menyangkal fakta sederhana ini? Jim Supangkat-pun tak berani.



3.

Pameran bertajuk Hang Out inipun mestinya membawa impian yang sama, tak peduli bagaimana rupa karya yang terpajang di dalamnya serta siapapun orang yang membuatnya. Pandangan minor terhadap seni grafis meski dikikis, tidak dengan amarah dan luapan emosi atau bahkan lemparan sepatu, tapi melalui aksi-aksi kecil penggerogotan narasi besar. Pemberontakan-pemberontakan kreatif. Peserta pameran ini harus mau menjadi ekstremis-ekstremis kecil di depan kolonisasi narasi besar. Telunjuk pantas kita arahkan ke depan hidung narasi besar sebagai biang terpinggirkannya seni grafis. Dalam narasi besar inilah terjadi praktek hegemoni pemaknaan, universalisasi nilai, munculnya patok duga yang dingin dan kaku, pengkotak-kotakan hingga peninggian status yang satu diantara yang lain. Inilah prestasi spektakuler narasi besar dalam ranah seni, sebuah ranah yang semestinya dicirikan oleh pluralitas, penghargaan terhadap lokalitas, perayaan terhadap perbedaan, penghilangan status kelas, dan juga peleburan sekat-sekat estetis. Banyak narasi alternatif yang tak berdaya di hadapan narasi besar karena dicurigai sebagai “the other”. Menyakitkan!



3.

Tisna Sanjaya mestinya tersenyum lebar kala tumpukan karya grafisnya semasa kuliah hingga tahun 2006 bisa ditukar dengan mobil kilap senilai ratusan juta rupiah. Apakah ini termasuk pemberontakan kreatif melawan narasi besar di tengah belantara dominasi seni lukis? Atau justru Tisna tak lebih sebagai agen narasi besar untuk meng-universalkan seni grafis? Kita mesti Hang Out untuk menilainya. Dari titik Hang Out ini pula kita musti mulai mendefinisikan kembali semuanya, dari mana saja, kapan saja, dan siapa saja.

Karena toh Hang Out adalah milik kita semua tanpa ada sekat dimensi ruang waktu. Bagaimana? Mau…?





Penulis adalah kritikus independen dan pendidik seni.

Hang out#2

Istilah ini semakin poluler; di Jakarta ada tempat hangout yaitu Social House. Tempat ini untuk melepas: kepenatan, sesak nafas atau protokulasi kantor yang menjenuhkan. Mereka isi dengan: ngobrol, diskusi, rekreasi seni, karaoke, pada food court, café untuk hangout (a place where one lives, say or spends much time ( Heineman Australian Dictionary, 1975: 503).
HANG OUT#2 mengait tempat dengan wacana seni grafis, tentunya bertujuan sama; membangun suasana sosial seni, menampung ekspresi seni dengan media dan teknik grafis tradisional, planograpgh atau surface print atau apa saja. Dilihat dari sejarah, medium senigrafis ini pernah dijuluki seni pinggiran karena para pegrafis Jepang memang mendekat dengan masa rakyat (the floating world). Tentunya HANG OUT#2 mewacanakan kumpul dan berekspresi dengan wacana seni grafis agar dekat dengan rakyat.
(Hajar Pamadhi, 3 April 2009).

hangout #2

HANG OVER
Hang-out n(infml) a place where one lives or wich one visits often
...oxford advanced learner's dictionary


Mari sejenak kita menyempatkan diri pergi ke taman malam, bertabur lampu remang kelap-kelip dan ditingkahi tawa lepas teman-teman…lets the night roll, hang it out…
Hang out mengacu pada konteks tempat dan aktivitas yang berkaitan dengan hal-hal diluar formalitas dan rutinitas yang cenderung stagnan. Konteks tempat dalam hang-out berrelasi dengan terselenggaranya semacam hajatan yang mempertemukan sekian banyak individu dalam kepentingan yang sama yakni pelepasan ketegangan akibat rutinitas yang dijalani. Selama ini hang out sekedar dimaknai sebagai aktivitas yang cenderung berkonotasi negatif semacam nongkrong, ketawa-ketiwi, ngerumpi yang tidak jelas dan semacamnya, namun sebenarnya justru dari sinilah seringkali memunculkan ide-ide segar mengingat aktivitas hang out terlepas dari formalitas dan hal-hal yang dipandang memiliki aturan baku atau mengikat, hang out memiliki pola tersendiri jika dikaitkan dengan sebuah proses kreatif yakni atmosfer kebebasan yang sangat memungkinkan tumbuh suburnya benih-benih kreatifitas yang membutuhkan kanal penyaluran.Okelah apapun yang berlaku tampaknya disini saudara-saudra dari Koloni Cetak hendak memberikan makna baru terhadap aktivitas yang satu ini, Koloni Cetak sebagai kelompok yang notabene memilih seni grafis sebagai media berkesenian tampaknya sadar benar mengenai pemilihan tema ini untuk memberikan kemungkinan yang lebih luas dalam memaknai seni grafis itu sendiri. Dari sinilah tampaknya hang-out sebagai tema event pameran seni grafis cukup potensial dalam mewadahi serta menyuarakan penyegaran dan pembaruan. Penyegaran atau apapun aktivitas yang melepaskan segenap ketegangan ini saya rasa dapat dibaca sebagai upaya perjuangan dalam memasyarakatkan seni grafis itu sendiri sebagai media yang cenderung kurang populer di masyarakat sebagai sebuah media ekspresi (seni). Sedangkan mengenai Konsep hang-out (pelepasan kejenuhan terserah kemudian bagaimana setiap seniman membacanya) yang dipilih kali ini sebenarnya adalah kodrat dari seni yang selalu menyeret kearah medan ekspresi individu bagaimanapun bentuknya ketika karya seni adalah sebuah sudut pandang yang mau tidak mau akan selalu bersifat subyektif.
Seni grafis lebih merujuk pada hal keteknikan tertentu ketimbang sebagai genre terbuka yang permisif terhadap masuknya teknik lain(misalnya seni lukis yang memiliki keterbukaan terhadap segala macam teknik yang digunakan tanpa kehilangan jati diri karya akhirnya yaitu lukisan) diluar perihal cetak mencetak yang mempersyaratkan adanya master cetakan dan kemampuannya untuk diduplikasi tanpa harus kehilangan otentisitasnya selain masalah teknis (membuat master cetakan baik dengan cukilan kayu, etsa, penintaan sampai dengan proses pencetakannya, dalam hal ini menunjuk pada teknik grafis manual) yang bagi sebagian orang mungkin terlalu merepotkan sebagai sebuah media ekspresi menjadikannya lebih dipandang sebagai produk industri yang cenderung tidak mementingkan otentisitas sebuah karya dan kemudahannya dalam penduplikasiannya, sehingga karya grafis dianggap sama dengan karya reproduksi yang dapat diperbanyak secara masal yang dengan segera berbenturan dengan masalah otentisitas seperti telah disebut diatas. Sifat-sifat tersebutlah yang sebenarnya sampai saat ini masih berperan cukup besar terhadap paradigma marjinalisasi seni grafis sebagai seni murni kelas dua dari sudut orisinalitas atau paling tidak persiapan berkarya yang menuntut sekian banyak langkah menjadikannya tidak begitu populer sebagai pilihan media ekspresi seni, dan sampai saat ini seni grafis tampaknya masih sibuk berkutat dengan permasalahan klasik ini. Kalaulah benar pameran kali ini dimaknai sebagai perjuangan dalam mempopulerkan seni grafis dan dari sini diharapkan kenaikan status karya grafis itu sendiri, maka hal ini sangat positif mengingat selama ini sangat jarang event yang khusus menampilkan seni grafis baik praksis maupun pewacanaannya, terlebih lagi tema Hang-out ini membuka kemungkinan yang sangat luas untuk munculnya alternatif-alternatif baik dari segi tema, teknik maupun wacana yang diharapkan mampu mencairkan kebekuan yang selama ini melanda media yang satu ini khususnya ketika hal ikhwal cetak-mencetak harus menjadi media ekspresi seni. Pemahaman dan apresiasilah yang idealnya kemudian mengikuti perkembangan seni grafis ini karena yang sedang diperjuangkan disini tidak sekedar secara praktik namun juga adalah pewacanaan dan segi apresiasi yang lebih fundamental, mengutip AD. Pirous adalah bagaimana mengembangkan aspek dasar dari multiplikasi yang terjadi dalam proses berkarya kedalam ekspresi baru dalam proses memamerkan, dan lebih jauh mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi dunia seni rupa pada umumnya. Kalaulah seni grafis(murni) selama ini dipandang kurang populer, maka sesungguhnya yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana kontinuitas perjuangan seni grafis itui sendiri dan dengan demikian event semacam Hang-out menjadi penting posisinya. Sampai disini tema Hang out menjadi semacam narasi besar yang idealnya akan mampu memposisikan seni grafis menjadi media yang lebih popular baik secara praktik maupun dari segi pewacanaannya, terlepas dari sudut manapun tema ini dibaca dan disikapi oleh para pendekar cetak yang turun gelanggang kali ini… a place where one lives or wich one visits often, often disini menuntut kontinuitas tentu saja, setidaknya untuk memenuhi definisi hang out itu sendiri


Dhidhik Danardhono
South Coast. Summer 2009

hangout #2

Hangout: Proses, Modal dan Efek

Zamzami Almakki

zamzamialmakki@yahoo.co.id





Hangout dapat diartikan bebas sebagai sebuah aktifitas dalam menghabiskan banyak waktu di suatu tempat. Kata Hangout lebih akrab dikenal sebagai pilihan kata lain dari piknik, wisata, tamasya dan rekreasi. Dalam KBBI, piknik diartikan bepergian ke suatu tempat di luar kota untuk bersenang-senang dengan membawa bekal makanan dan sebagainya, wisata diartikan bepergian bersama-sama, tamasya diartikan perjalanan untuk menikmati pemandangan, keindahan alam dan sebagainya, rekreasi diartikan sebagai penyegaran kembali badan dan pikiran dengan sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan serta piknik. Dari kelima aktifitas tersebut dapat disimpulkan ke dalam tiga hal yakni perjalanan, bekal dan rasa. Perjalanan adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dan ditekankan pada proses, bekal dikategorikan sebagai modal dan rasa; baik artifisial maupun natural merupakan efek.

Proses, modal dan efek dalam Hangout, secara umum dan mudah, bermuasal dari kata ‘jenuh’ yang dipadankan dengan kata bosan dan jemu. Dalam kimia larutan, kata jenuh digunakan dalam istilah larutan yakni ‘larutan jenuh’, sebuah kondisi ketidaksempurnaan pencampuran dalam proses penambahan bertahap zat terlarut kedalam pelarut dan menghasilkan endapan. Kejenuhan pada manusia pun diibaratkan demikian, zat terlarut adalah masalah dan otak manusia adalah pelarutnya. Proses menumpuknya masalah serta bercampurnya masalah satu dengan masalah lain, kiranya adalah hal yang serupa. Tidak ada ukuran pasti berapa maksimum kapasitas otak manusia untuk menampung berbagai masalah yang dihadapinya, akan tetapi apabila masalah terlalu banyak maka timbulah endapan kejenuhan, seperti proses timbulnya kejenuhan pada larutan akibat zat terlarut lebih besar dari pada pelarut.

Dalam visual, kejenuhan dikenal dengan istilah saturation, yakni proses menjenuhnya kualitas pewarnaan dalam sebuah image digital. Proses penjenuhan warna tersebut bergerak positif dan negatif. Apabila diberi penambahan nilai 100% (seratus persen) ke arah positif, maka kejenuhan warna meningkat drastis, kadar warna berlebih dari kondisi normal dan tampak rusak. Sedangkan apabila diberi pengurangan nilai 100% (seratus persen) kearah negatif, maka kejenuhan warna menurun drastis, kadar warna menghilang dari kondisi normal dan tampak buram.

Pengertian Hangout diatas, sejalan dengan pemikiran Josef Pieper mengenai waktu senggang dalam buku Fransiskus Simon (2008:64) yang berjudul “Kebudayaan dan Waktu Senggang”. Pieper mengemukakan pengertian harfiyah waktu senggang ialah saat jeda dari kesibukan dan rutinitas keseharian; santai; piknik; berlibur. Namun Pieper menentang pemahaman waktu senggang sebagai kesempatan untuk bermalas-malasan, karena Pieper merujuk pada pemikiran Thomas Aquinas bahwa kemalasan justru adalah kemandulan menggauli waktu senggang dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja, karena kerja dipandang sebagai demi kerja semata. Pemikiran Pieper lainnya mengenai waktu senggang adalah waktu senggang bukanlah sikap (attitude) atau tindakan (act) yang terjadi karena kekuasaan, pengaruh, atau tekanan dari luar, melainkan sikap mental dan spiritual. Keberadaannya bukan karena faktor eksternal, seperti hari libur, cuti atau saat beristirahat yang diatur. Dalam berwaktu senggang kita bersikap aktif namun diam, Pieper menyebutnya ‘The Art of Silence’. Waktu senggang hanya mungkin dilakukan saat manusia menyatu dengan dirinya sendiri dan menolak malas karena malas adalah kerapuhan memaknai kehidupan.

Kajian kontemporer mengenai waktu senggang berkaitan dengan jeda dari kesibukan dan rutinitas keseharian yang terjadi saat ini sangatlah sulit untuk dipetakan karena lenyapnya batas jeda dan sibuk atau rutinitas. Waktu jeda sangatlah tidak mungkin dilakukan karena sibuk atau rutinitas yang terjadi saat ini berlangsung penuh 24 (dua puluh empat) jam dalam sehari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu, 30 (tiga puluh) hari dalam sebulan dan 12 (dua belas) bulan dalam setahun. Waktu jeda dan rutinitas saling bertemu dan berjalan simultan menjadikannya bagian dari paradox. Pertanyaannya yang berkaitan dengan hal tersebut adalah kalau Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi sebagai proses perjalanan atau perpindahan, yang berjalan atau berpindah subyeknyakah atau obyeknya?

Modal berperan penting dalam Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi. Modal tersebut tidaklah hanya bersifat material melainkan non material seperti halnya modal budaya yang dibawa seseorang dalam berwisata. Ketika berada pada sebuah obyek wisata, wisatawan melakukan proses interaksi. Berwisata alam sama halnya berinteraksi dengan alam. Modal utama saat menginterpretasi sesuatu yang berkaitan dengan alam berkaitan dengan modal budaya mengenai alam. Tanda-tanda visual alam akan dimaknai seorang wisatawan berdasarkan modal budaya yang ia bawa sebelum berada dalam kawasan wisata. Tanda-tanda visual tersebut akan dikorelasikan dengan modal budaya dan didifrensiasikan sehingga menjadi pemaknaan baru yang cenderung subyektif, walaupun ketika wisatawan mengambil sebuah pilihan obyek wisata merujuk pada konvensi akan keindahan obyek wisata tersebut.

Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi diposisikan pada jeda dan berada diantara. Jeda berarti ada diantara dua peristiwa; masa lalu dan masa depan, sebelum dan sesudah. Masa lalu atau sebelum menjadi tepian awal sebuah jeda dan masa depan atau sesudah menjadi tepian akhirnya. Banyak beban yang ditinggalkan di tepian awal serta banyak manfaat yang diharapkan pada tepian akhir sebuah jeda. Manfaat yang diharapkan tersebut bisa dikatakan sebagai efek rasa natural juga artificial. Efek rasa natural tersebut berasal dari permukaan yang tampak pada obyek wisata sedangkan efek rasa artifisial berasal dari pemaknaan obyek wisata.

Proses Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi tidak terlepas dari pengalaman visual, seperti halnya menikmati pemandangan alam, menonton film di bioskop atau home theater, membaca buku di taman maupun majalah di ruang publik, melihat konser musik langsung di stadion maupun lewat televisi hingga secara virtual melalui dunia maya. John Naisbitt (2001:31) dalam bukunya berjudul “High Tech High Touch” mengemukakan mengenai budaya layar (screen culture) yang merasuki kehidupan manusia. Banyak dalih mengatakan layar-layar yang menghibur seperti televisi, bioskop, web dan electronic game hanyalah menampilkan sesuatu yang ‘maya’, padahal konsekuensinya sungguh nyata. Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan, masihkah kita menjaga teritori ruang maya dan nyata dengan batasan-batasan konsekuensi yang jelas?

(tulisan ini di terbitkan di katalog)

gilang nuari


Judul : “tetap berhenti dan terus berdiri”
Ukuran : 24 x 36 cm
Media : hardboardcut on paper
Tahun : 2009

Sebuah skenario hidup menuntun kita untuk berhenti melangkah kemudian melangkah lagi untuk dijadikan satu adegan baru yang benar-benar tanpa akhir

gilang fradika


Judul : “kisah di sofa merah”
Ukuran : 21 x 30 cm
Media : hardboard cut on paper
Tahun : 2009

Ketika cerita: senang-sedih,marah-riang,bosan-gembira,bohong-jujur..larut dalam sebuah sofa merah..ditemani hisapan rokok dan asap dari cangkir kopi yang kita nikmati bersama saat yang hitam mulai putih dan yang putih mulai hitam…kita nikmati saja bersama cerita dalam sebuah sofa merah.. yang hangat dikala hujan dan dingin dikala kemarau..