Senin, 02 Maret 2009

Pameran Langka Setengah Hati


Pameran Seni Grafis Indonesia mulai menunjukkan perubahan sikap, tapi tampak masih setengah hati. Seni grafis tetap menjadi seni kelas dua.
Pameran Grafis Indonesia
Karya: 48 perupa grafis Indonesia
Waktu: 23 Februari - 4 Maret 1999
Tempat: Taman Ismail Marzuki, Jakarta


SETIAP kali berlangsung pameran eni grafis, selalu muncul keluhan klise bahwa seni grafis adalah seni kelas dua. Keluhan ini selalu dihubungkan dengan apresiasi khalayak seni rupa terhadap karya seni grafis dibandingkan dengan terhadap karya lukis. Keluhan ini nyaris menjadi tipikal psiko-kreatif seniman grafis. Tampaknya ada kompleks rendah diri yang tak akan pernah berakhir. Akibatnya, frekuensi pameran seni grafis bisa dihitung dengan sebelah jari. Data yang disodorkan Sulebar Soekarman, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, justru lebih mendramatisasi keluhan itu. Dalam kurun 10 tahun belakangan ini, pameran seni grafis baru diselenggarakan dua kali, pada 1986 dan sekarang. "Memang, ada beberapa pameran tunggal dan kelompok di Jakarta, Bandung, Yogya, dan Surabaya, tapi kelihatan tak begitu memberikan motivasi atau semangat untuk berkembang seperti halnya pada pameran seni lukis," demikian tutur Sulebar melalui kata pengantarnya dalam katalog pameran.

Macetnya pamor seni grafis juga tampak pada tulisan atau ulasan di media massa yang kering dan hanya berkutat pada persoalan teknis. Namun hal ini bisa dimengerti karena karya seni grafis umumnya kurang melakukan eksplorasi di luar wilayah teknis. Contohnya, aspek tema yang paling banyak muncul adalah tema dengan magnitude yang rendah. Umumnya, tema yang tampil pada karya grafis adalah persoalan yang sangat pribadi dan tak memiliki paradigma komunal yang tajam. Bahkan, ada yang hanya mengeksplorasi elemen bentuk, misalnya pada karya Diddo Kusdinar berjudul Composition # 1 dan karya Freddy Sofyan berjudul Stone Image. Memang, ada juga beberapa karya yang berupaya memasuki tema sosial, misalnya karya grafis dengan teknik media campur Tisna Sanjaya berjudul Proyek Percontohan Monumen Pembusukan (1998), karya Haryadi Suadi berjudul Penyakit Para Penguasa (1998), karya Arief Eko Putro berjudul Ketika Tidak Enak Melihat, Mendengar, dan Membaca (1999), karya Humanoko Al Farabi berjudul Satu Induk Lain Paruh (1998), dan karya Agung Jaya berjudul Bayang-Bayang Aktor Intelektual (1998).

Sebagian besar peserta pameran memang masih mengeksplorasi teknik grafis konvensional. Walau demikian, pameran grafis ini sudah lebih maju dengan memasukkan karya grafis media campuran (artinya, tidak hanya menggunakan teknik grafis konvensional). Namun agak mengherankan jika tim kurator masih juga membatasi eksplorasi medium. Di satu sisi, tim kurator (Setiawan Sabana, Sulebar Sukarman, Mara Karma, Rujito, Sukamto) menerima teknik grafis komputer (Woman Tradition II, karya Tris Neddy Santo) dan teknik body print (Proyek Percontohan Monumen Pembusukan, karya Tisna Sanjaya), yang sebenarnya sudah mulai menyempal dari prinsip teknik grafis konvensional, atau juga teknik cukil kayu yang banyak digunakan perupa grafis Yogya dengan hasil cetakan yang tebal, bertekstur, dan bisa menghasilkan cetakan yang berbeda pada setiap edisi. Namun, di sisi lain, tim kurator tak memberikan tempat kepada perupa yang menjadikan teknik grafis sebagai salah satu teknik dalam karyanya. Padahal, Setiawan Sabana dikenal sebagai seniman grafis yang sangat terbuka dengan gagasan liar dalam seni grafis (sebuah karya grafis instalasinya, Monumen Kertas?tidak ada dalam pameran ini?merupakan eksplorasi yang radikal).

Kalau maksudnya ingin menjadikan pameran ini sebagai pameran yang menjaga kemurnian konvensi teknik grafis?jika konsekuen, ini juga bukan pilihan yang jelek?karya Tisna Sanjaya, atau karya grafis teknik cukil kayu bergaya khas Yogya, seharusnya ini ditolak. Namun tim kurator tampaknya setengah hati ketika berhadapan dengan perkembangan seni rupa kontemporer, yang tak lagi mempertahankan sekat-sekat yang secara ketat membatasi setiap medium ekspresi. Contohnya terlihat pada karya Tisna Sanjaya, atau bahkan Setiawan Sabana, yang hanya memperlakukan teknik grafis sebagai bagian kecil dari karyanya. Kalaulah cara yang gagap itu yang dijadikan pedoman, setiap kali penyelenggaraan pameran seni grafis tentu tak akan pernah lepas dari keluhan klise tadi: seni grafis adalah seni kelas dua.

R. Fadjri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar