Senin, 02 Maret 2009

Sub Kultur Grafis, tawaran untuk melawan mati suri


Oleh: Agung kurniawan

Hanya ada satu pameran grafis sepanjang tahun 2004. Akan tetapi ada puluhan atau mungkin ratusan kali pameran lukisan dan varian-variannya. Seni grafis atau seni cetak mungkin ditakdirkan mati cepat, hidup sesaat mati secepat-cepatnya, ia tidak pernah bisa tune in dengan medan seni rupa di Indonesia.
Tulisan ini berisi tentang sebuah pengalaman yang terjadi lebih kurang 10 tahun yang lalu, waktu penulis masih kuliah di Institut seni Indonesia Yogyakarta.

Ketika pertama kali masuk jurusan seni grafis di sebuah sekolah seni di Yogyakarta, beberapa teman menertawakan pilihan saya,” mana mungkin kertas mu bisa dijual,…”, bagi teman-teman yang tidak akrab dengan medan seni rupa di Yogyakarta menjual karya atau bisa hidup lewat karya seninya adalah kebanggaan terbesar. jauh lebih bermartabat dari seorang yang mengharapkan gaji setiap bulan. Saya waktu itu benar-benar tidak bisa menjawab sindiran itu. Persoalannya adalah hal itu tidak pernah terlintas satu inci pun di kepala saya, saya hanya ingin menjadi seniman yang sebisa mungkin tidak melukis. Pelukis itu bodoh ( saya kutip dari ungkapan marchel duchamp saya lupa di buku atau majalah apa) mengendap atau lebih tepatnya mengerak di kepala saya, sehingga ketika saya kemudian sadar bahwa berkarya di atas kertas berakibat tidak laku, tidak saya hiraukan.

Sejak kuliah saya memang merasakan rasa rendah diri di jurusan seni grafis. Dosen-dosennya sebagian adalah para pecundang yang bahkan tidak bisa membuat karya seni . Sebagian lagi cukup bagus sebagai pengajar dan sebagian kecilnya sibuk dengan hal-hal lain yang tida ada hubungannya dengan pendidikan. Sebagai murid kami harus mampu memotivasi diri, untuk menjaga supaya tidak larut dalam iklim inferioritas itu. Kami menghidupkan studio grafis di pojok ruang seni grafis, mengadakan pameran di gang, mengadakan diskusi, pendeknya menampakkan bahwa mahasiswa seni grafis bukanlah kumpulan para pecundang. Para mahasiswa bau kencur itu berhasil mengadakan pameran restropeksi 40 tahun grafis yogya (1996, Purna Budaya, Yogyakarta), dengan swa daya dan swa dana. Salah satu sumber idenya adalah karena kami mampu membongkar ruang peyimpanan koleksi jurusan seni grafis dan menemukan koleksi grafis bertumpuk lengket satu sama lain, terserak seperti sampah . Kami “membaca” temuan kami, waktu itu istilah kurator baru saja “ditemukan”, dan memamerkannya kepada publik. Beberapa tahun kemudian Bentara Budaya Jakarta melakukan hal yang lebih kurang serupa dengan dana yang lebih besar.

Semua tindakan di atas pada dasarnya adalah laku mempertahankan diri dari lingkungan “kejam”, dominasi para pelukis kanvas. Saya rasa kami berhasil dalam skala tertentu, karena kami kemudian bisa “menghina” para pelukis itu sebagai gerombolan orang bodoh yang terampil (beberapa tahun kemudian teman-teman saya ini mulai juga melukis untuk menghidupi anak dan istrinya, karena menjadi lebih tua sedikit lebih arif saya bisa mengerti pilihan mereka). Tahun-tahun itu saya menghasilkan banyak sekali karya grafis. Pameran tunggal pertama misalnya dipenuhi dengan etsa, hardboard cut dan sebagian lagi drawing. Itu adalah tahun-tahun terbaik bagi karier saya sebagai seorang seniman muda. Kami tidak sadar apa yang kami lakukan adalah proses pembentukkan sebuah sub kultur. Di tengah dominasi para “pengrajin kanvas” itu kami merekayasa sebuah komunitas yang berpusat pada penghargaan kertas dan tinta cetak. Tidak cukup hanya dengan memproduksi kami pun menyelenggarakan pameran dan “pembacaan”. Beberapa tahun kemudian saya sadar bahwa inilah kunci dari pemberdayaan seni grafis, pembentukkan sub kultur. Sub kultur seni grafis yang terpisah dari mainstream seni lukis dan variannya.

Mainstream mau tidak mau akan berpihak kepada pasar, sulitlah di bayangkan jika mereka harus meluangkan waktunya untuk berpihak pada seni pinggiran semacam seni grafis misalnya. Sehingga dengan membentuk sebuah “kurang lebih komunitas” seni grafis maka dengan sendirinya akan terbentuk infrastruktur penyangga; penonton, kritikus, seniman, dan akhirnya para pembeli. Komunitas mandiri semacam ini banyak sekali dipraktikkan sekarang ini, terutama pada komunitas gaya hidup; kelompok musik, Punk, vegetarian, sekte agama tertentu sampai pada distro! Sub kultur seni grafis dapat dimulai dari kampus-kampus seni, tidak bisa dipungkiri stake holder seni grafis indonesia adalah mahasiswa seni grafis itu sendiri, dan dari situ gerakan ini dapat diperbesar.

Apa yang kami lakukan lebih kurang 10 tahun yang lalu memang sporadis didasari oleh spontanitas mahasiswa yang dipenuhi idealisme yang berlebihan, akan tetapi ditengah mati surinya seni grafis cara-cara diatas bisa dijadikan semacam studi kasus. Bahwa seni grafis haruslah (untuk kepentingan strategis tertentu) diperlakukan berbeda dengan mainstream , perbedaan itu harus “dipolitisir”. Hanya dengan cara itulah maka seni grafis bisa dicatat kembali, dan tidak terhapuskan dari medan seni rupa Indonesia, atau setidaknya bisa men-derau ditengah suara-suara seragam seni lukis anak emas seni rupa kotemporer Indonesia.

sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar