Senin, 02 Maret 2009

Kematian, Seni Grafis, Kita



Minggu, 25 Januari 2004,

MATA pisau cukil atau jarum etsa itu tidak seperti menggores-gores, mencabik-cabik, menyayati atau melukai persoalan yang ditawarkan tema trienal. Kedua alat tersebut agaknya cukup dimanfaatkan untuk berceloteh, mendesain, mungkin sebatas memelihara komposisi gambar.

Sebuah pelat kayu atau tembaga di sana berfungsi sebagai permukaan yang datar saja (dia kaku dengan bentuk persegi panjang, bujur sangkar, nyaris tidak ada karya yang menggunakan pelat bundar, segitiga, atau tanpa segi. Juga tidak ada pelat yang rusak karena cukil atau jarum). Saya paham bahwa ekspresi akan hilang di balik konsentrasi proses cetak grafis. Namun tema kematian pada Trienal Seni Grafis 2003 itu tidak kuasa menyembunyikan sisi ornamentiknya. Bahwa kematian dipahami sebatas hiasan-hiasan teknis untuk memberi ilusi kepada kita bahwa sebuah karya cetak grafis adalah kembali kepada kemampuan eksklusif milik sang pegrafis. Seni grafis menjadi demikian elite, padahal hakikat seni "nonauratik" itu tidak demikian awalnya.

Wacana seni grafis Indonesia membuka lembar baru dengan penyelenggaraan Trienal Seni Grafis Indonesia yang digelar sejak 2003 lalu. Inisiatif Bentara Budaya Jakarta patut dihargai mengingat "pembelaan" lembaga ini terhadap perkembangan seni grafis di Indonesia telah berlangsung hangat sejak empat tahun ke belakang. Saya kira merekalah kini lembaga di luar akademi yang paling signifikan setelah rontoknya beberapa komunitas seperti Decenta, Bienale Seni Grafis-1987 yang melahirkan manifes Masyarakat Seni Grafis, Red-Point, lalu pudarnya aktivitas Tjidamar-Rumah Grafis. Semuanya pernah bersemayam di Bandung.

Selain rontoknya komunitas-komunitas seni grafis, beberapa kekurangan lain di medan sosial seni grafis segera mencuat, yakni pertama dan utama soal pasar. Keluhan kurangnya minat terhadap karya grafis disinyalir Kaboel Suadi dan Ipong Purnama Sidhi di dalam acara pembukaan pameran trienal, 16 Januari (pameran di Selasar Sunaryo Art Space Bandung ini berlangsung sampai 31 Januari 2004). Beberapa analisis terhadap persoalan ini coba dikemukakan, antara lain mitos orisinalitas yang didominasi wacana seni lukis. Pasar agaknya sulit menerima sifat penggandaan (jumlah edisi) dalam sebuah karya grafis yang dituding menggerogoti nilai orisinalitas tersebut.

Dari sekian survei saya pribadi, pasar terbilang langka menunjang transaksi pembelian karya seni grafis. Di pihak lain, sifat penggandaan dalam karya cetak grafis justru mengandaikan keterjangkauan pasar. Katakanlah, harga sehelai cetakan grafis akan jauh lebih murah. Dahulu pernah beredar rumor bahwa sehelai karya cetak grafis layak dihargai sekitar Rp 500.000-Rp 750.000. Logika demikian rupanya berbanding terbalik dengan fakta yang ada karena rupanya pasar selalu bergerak dengan logikanya sendiri.

Kedua, soal penyebaran pemahaman proses cetak sebuah karya grafis. Meski berulang kali katalog pameran grafis yang saya temui memuat teknik-teknik pengerjaan karya grafis, tidak serta merta membuat orang paham begitu saja tanpa pernah masuk ke ruang studio grafis. Dibandingkan dengan melukis, proses mencetak grafis secara terbalik menjadi "elitis", sulit disentuh. Bahkan berlaku pula dalam proses apresiasinya. Sepertinya hanya mereka yang memiliki mesin cetak (press), ruang pengasaman (misalnya, untuk etsa), limestone (untuk litografi), ruang gelap (untuk silk screen, sablon) saja yang bisa bekerja grafis. Dan sepertinya hanya mereka yang mengerti seni cetak grafis saja yang bisa menikmati sensasi asam (acid) menggigit pelat tembaga di sebuah karya etsa.

Sementara tawaran yang lebih "demokratis" diwakili teknik cetak tinggi (misalnya woodcut, linocut, hardboardcut). Tanpa harus memiliki mesin cetak (press), teknik ini bisa dikerjakan secara manual dengan sendok, baren, atau "cetak injak" (menginjak-injak kertas dan pelat kayu secara bersamaan, terutama jika bidang pelat cukup besar). Tidak heran, teknik cetak tinggi banyak ditemui di mana-mana. Tidak heran pula jika pada trienal kali ini teknik cetak tinggi sangat dominan (catatan saya, hanya seorang finalis yang mengerjakan teknik litografi).

Ketiga, soal kritik seni grafis di media massa. Tulisan-tulisan yang merisalahkan seni grafis terbilang miskin. Namun masalah ini segera dipahami dengan fakta minimnya pameran-pameran seni grafis oleh individu atau kelompok. Sebuah pameran seni grafis akan selalu menggandeng "polemik intern" seni grafis terutama pengutamaan di antara representasi karya atau teknik karya. Beberapa orang cenderung memfokuskan diri pada teknik, beberapa lagi lebih mementingkan praktik pemaknaan yang direpresentasikan karya.

Sebagai misal, mari kita bayangkan: sebuah karya grafis dengan teknik color litografi bergambar pemandangan alam (sawah, gunung, dan awan). Hal apa yang bisa kita tarik demi melihat karya tersebut, teknik menumpuk warna litografinya ataukah makna "representasi" pemandangan? Umumnya pegrafis ingin dilihat dari totalitas kedua aspek tersebut. Ada juga pegrafis yang meyakini bahwa kesempurnaan teknis adalah segalanya dan dijadikan idaman. Tidak jarang, dalam kacamata ini, sebuah karya cetak grafis secara teknis bisa dinyatakan "salah" atau gagal.

Namun praktik pemaknaan terkadang menjauhi persoalan itu. Misalnya, apakah kita akan mempersoalkan pemilihan jenis cat atau kanvas di lukisan Affandi? Sejauh yang saya telusuri tidaklah demikian. Kini, terbilang langka kritikus yang mempersoalkan lagi perkara-perkara seputar teknis lukisan. Sebaliknya dalam proses cetak grafis, kesalahan teknis sekecil apa pun itu akan mudah terlihat (misalnya pelat yang bergeser dalam karya color woodcut, warna pucat karena torehan jarum yang kurang dalam, karena kertas yang kurang kelembabannya atau kualitas cat yang dipakai). Cacat teknis adalah masalah besar di seni grafis terutama menyangkut proses di tahap penggandaannya. Ini sangat sensitif, meski (lagi-lagi) tidak semua orang bisa menemukan kesalahan teknis itu dalam sebuah cetakan karya. Sebaliknya lagi, kita tidak pernah mempersoalkan "kesalahan" teknik watercolor (yang tentunya berbeda dengan teknik cat minyak atau akrilik) dalam sebuah karya lukis, misalnya. Padahal, saya yakin seorang sarjana seni lukis akan mudah menemukan kesalahan teknis tersebut pada sekian banyak karya lukis seniman kontemporer yang malang-melintang di sekitar kita.

DAN kini soal tema yang menjadi panduan dasar trienal. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah: mengapa harus mengutamakan Käthe Kollwitz, mengapa mesti ihwal kematian? Karya apa sih yang diharapkan terjadi dalam trienal ini?

Tema itu dipicu esai Enin Supriyanto: Kollwitz, Kematian, dan Kita dan esai filsafat F Budi Hardiman: Melampaui Mengingat, dan Melupakan; Diskursus tentang Detraumatisasi. Kedua esai tersebut menjadi acuan arah berkarya bagi calon finalis trienal. Jelas, calon finalis diandaikan "mampu" menafsirkan tema trienal.

Saya akan fokus pada tulisan Enin menyangkut Käthe Kollwitz meski tertera nama lain seperti Jacques-Louis David, Goya dan Picasso seputar karya seni dan kematian. Dalam esainya- sebuah paparan kehidupan dan karya Käthe Kollwitz yang konon cakap mempersoalkan "kematian"-Enin seperti tidak siaga mencium dampak "stereotip" kematian dengan membawa-bawa "roh" Kollwitz secara mistis lalu mencari konteks "rasionalnya" di ranah sosial-budaya Indonesia kontemporer.

Saya mencatat, hampir seluruh para finalis itu memfokuskan diri dengan "ilustrasi" sosok manusia yang "sedang mati", ikon militer, simbol-simbol kekerasan yang telah berlalu, malaikat pencabut nyawa, simbol harapan (kehidupan itu sendiri), labirin-labirin, deformasi tulang-belulang, lazimnya gemuruh ikon seni sosial politik pasca 1998 lalu. Bahkan ada karya yang mutlak "meniru" estetika legendaris Käthe Kollwitz. Akibatnya, komunikasi tema yang dibangun menjadi sebuah tafsir atas tafsir yang sudah fixed tentang kematian, terlampau jelas bagi sebuah soal yang memang sudah jelas, cenderung klise meski beberapa karya tampak berbelit-belit. Kematian di sana akan sulit bersaing dengan "buyut" seni grafis: rekaman video, yang tangkas, begitu nyata dan vulgar di stasiun televisi setiap hari, kematian yang lengkap dengan cipratan darah dan emosi.

Dengan anasir lain, "teks kematian" sebagai "kematian" pada trienal berhenti sebatas "model" penggambaran "peristiwa kematian", tentu dengan segala rupa kenaifan produksi simbolnya. Saya diombang-ambingkan antara "kenikmatan" teknik para finalis, representasi visual dan ingatan atas kepiawaian seorang Käthe Kollwitz yang bahkan cermat merekam "model" pakaian orang Jerman di masanya. Sebuah "kenikmatan" yang rasanya mencairkan banyak hal dan bersifat ilusif, mengingat tafsir sosiologis para finalis itu cenderung mengawang-awang. Entah siapa dan di mana gerangan sosok manusia pada karya grafis di sana (manusia di alam kubur, kah?).

Pada gilirannya, "stereotip kematian" banyak kita jumpai hampir di setiap karya para finalis. Karya-karya itu memang berhasil "mendikte" renungan kita terhadap kematian (sosok rebah, latar gambar yang gelap-pekat dan lain-lain). Luputnya Enin, saya kira "stereotip" tentang kematian terjadi juga di setiap karya Kollwitz.

Untuk mempersingkat, saya hanya hendak ceritakan bahwa di suatu pagi musim dingin ketika antrean pasien-pasien miskin itu gelisah menunggu panggilan dokter, di sebuah sudut berbeda seorang ibu dan anak ikut antrean. Ruang tunggu itu lembab, sendu, lantainya berderik. Tidak lama seorang wanita bermata sayu dari balik pintu mempersilakan masuk. Bukan sang dokter yang muncul. Wanita itu adalah Käthe Kollwitz. Adapun si anak dan ibu adalah bakal model gambar yang telah jadi langganannya di studio, bersamaan dengan kesibukan praktik suaminya yang dokter di Jerman. Setelah sketsa di kertas terjadi, Kollwitz lalu menanyakan kesediaan ibu itu untuk mencarikan model lain untuknya. Untuk itulah, dalam catatan hariannya, berulang kali Kollwitz berusaha menepis kritik orang terhadap "kabar kematian via studio"-nya itu. Sebuah pernyataan gamang dan retoris pernah ditulis Kollwitz, "Setiap hari saya selalu berwawancara dengan kematian…."

SEPAKAT dengan FX Harsono (baca Kompas, Minggu 19 Oktober 2003), saya berusaha percaya bahwa ada cara yang lebih kreatif untuk melihat dan merepresentasikan kematian tanpa dijangkar, yang secara langsung berasosiasi pada karya dan sosok Käthe Kollwitz. Lagi pula, sebuah event trienal mungkin terlalu sempit sekaligus berlebihan jika hanya berisikan karya- karya tafsir kematian yang melankolis. Dan saya yakin kontemplasi dalam diri setiap orang untuk menyiapkan kematiannya selalu berbeda-beda, tidak mesti "mengonsumsi" karya seni.

Sepertinya penggalan nasihat F Budi Hardiman ini akan sangat bertolak belakang dengan kegaduhan tafsir (prasangka yang stereotip) di karya-karya itu: "Tetapi, dengan mendengarkan, yaitu menyimak baik-baik, prasangka dikenali sebagai prasangka. Karena itu, untuk menepis prasangka, orang harus berlatih menjadi pendengar yang baik. Untuk itulah diam".

Aminudin TH Siregar Dosen Seni Rupa, ITB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar