Senin, 02 Maret 2009

Seni Grafis Hari Ini

Mengetengahkan yang Terpinggirkan:
Seni Grafis Hari Ini
03/06/2008 06:59
Print View Post Your Comment
Dalam Mimbar Indonesia edisi 17 Agustus 1948, tiga tahun setelah kita merdeka, Rifai Apin, sastrawan angkatan 45 (sahabat Chairil Anwar dan Asrul Sani dalam “Tiga Menguak Takdir”) menulis tentang seni grafis di media massa berjudul: “Suatu Cabang Lagi Dipenuhi”. Tulisan pendek itu merupakan pembelaan terhadap cabang seni rupa dua dimensi yang awalnya hanya dianggap sebagai media propaganda. Meskipun itu benar, seperti catatan Aminudin TH Siregar, bahwa puncak pemanfaatan seni grafis sebagai media propaganda dapat dilihat saat pelaksanaan proyek menyambut peringatan kemerdekaan RI yang pertama, Agustus 1946. Sampai hari ini perayaan terhadap bidang seni grafis belum menggembirakan, walau sejak tiga puluh lima tahun yang lalu cukup mendapat tempat di beberapa institusi seni, terutama Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ternukti tak terlalu ramai orang yang hadir dalam pembukaan pameran seni grafis bertajuk Grafis Hari Ini di Bentara Budaya, Kamis malam, 14 Mei 2008. Sesuai dengan kata pengantarm, juga catatan kurator dalam katalog, yang mengatakan bahwa seni grafis masih dipandang rancu sebagai bagian dari seni lukis. Namun posisinya lebih marginal, karena kreasinya dianggap sebagai karya masal yang dapat diulang dan digandakan. Sisi orisinalitas bagi kolektornya sedikit terganggu, karena tak eksklusif dengan menyandang julukan yang one and only.

Peristiwa kedua Triennal Seni Grafis Indonesia (2006), kembali diselenggarakan oleh Bentara Budaya (yang pertama tahun 2003). Terasa langka dan kurang populer memang, namun sesuai dengan misi dan visi Bentara Budaya yang cukup mulia. Kegiatan yang berlangsung bertujuan menggairahkan penciptaan seni, terutama yang kurang mendapat perhatian masyarakat. Bahkan film-film indie, karya keramik yang masih sulit dibedakan antara kreasi seni dan benda-benda gerabah fungsional, diwadahi oleh Bentara Bedaya yang bersiteguh dengan komitmen membela terpinggirkan.

Dalam pameran itu, ditampilkan para 6 pemenang kompetisi Triennal Seni Grafis Indonesia. Mereka adalah A.C. Andre Tanama (satu-satunya perempuan dalam pameran ini), Agus Yulianto, Arief Eko Saputro, Agus Prasetyo, Sri Maryanto, Syahrizal Pahlevi. Satu pemenang lagi, Agus Suwage tak mengirimkan karya. Penampilan karya mereka ditemani oleh empat pekerja seni grafis senior, yakni: Setiawan Sabana, Hariadi Suadi, Tisna Sanjaya, dan Agung Kurniawan.

Efix Mulyadi dari Kompas memberikan sambutan dengan menyampaikan harapan PK Ojong (pendiri Kompas) yang disampaikan oleh Efix, penikmat seni grafis jangan hanya mengunjungi pameran dan menulis apresiasinya, tetapi diwujudkan dengan membeli dan mengoleksinya. Malam itu tidak seluruh senimannya hadir karena berbenturan dengan jadwal kepentingan yang lain.

Seni grafis di Indonesia awalnya dipelopori oleh Mochtar Apin dan Baharudin Marasutan. Generasi sekarang seolah berhutang kepada mereka berdua. Seni grafis dianggap cikal bakal dunia percetakan. Ada beberapa macam teknik yang menjadi hulunya: cukil kayu (seperti stempel), cetak dalam (yang kini digunakan untuk teknik mencetak uang kertas), cetak saring (lebih dikenal dengan sablon, untuk kaos dan spanduk), cetak datar (etsa, dengan proses pengasaman). Memang, fungsi-fungsi seni grafis cenderung dekat dengan propaganda karena sifatnya yang masal dan berulang.

Dalam pameran yang dibuka untuk umum mulai 15 sampai dengan 23 Mei 2008 ini, terdapat dua mazhab karya. Di satu sisi, sang seniman bertahan dengan gaya hitam putih dan kontras, di sisi lain tampak aneka warna di atas gambar rumit dan detail. Sementara, Tisna Sanjaya justru menghadirkan eksplorasi yang seolah telah “mengkhianati” teknis seni grafis dengan memasang benda-benda seperti clurit dalam kanvasnya. Dari ukuran juga sangat variatif. Misalnya Arief Eko Saputro menyajikan karya-karya dengan kanvas mungil berderet, masing-masing berukuran 20 x 25 cm. Sedangkan sebagian yang lain, terutama tisna Sanjaya membuat cetakan di atas kanvas seluas 4 meter persegi.

Cukup menarik materi grafis yang dipamerkan, termasuk kemasan kotak sepatu (meskipun craftsmanship -nya kurang rapi). Para senimannya juga sebagian masih berusia muda. Bahkan Andre Tanama, jejaknya berserak dengan berbagai penghargaan menyusul kelulusannya yang menyandang gelar cum laude dari Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta. Patut diacungi jempol dengan “kekeraskepalaan” mereka bertahan pada cabang senirupa yang sampai hari ini belum banyak dilirik oleh orang. Akan tetapi aplikasi perkembangannya, terutama di bidang iklan dan percetakan, justru menghasilkan banyak uang. Ini mungkin menjadi sermacam ironi.

Setiawan Sabana, dosen FSRD Jurusan Seni Murni juga mengakui, bahwa seni grafis secara pergaulan dalam bidang seni yang akhir-akhir ini menjadi bagian dari bisnis, menempati posisi marginal. Malam itu dia hadir dan mencoba memberikan semangat kepada generasi berikutnya.



(Kurnia Effendi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar