Jumat, 17 April 2009

hangout #2

Hangout: Proses, Modal dan Efek

Zamzami Almakki

zamzamialmakki@yahoo.co.id





Hangout dapat diartikan bebas sebagai sebuah aktifitas dalam menghabiskan banyak waktu di suatu tempat. Kata Hangout lebih akrab dikenal sebagai pilihan kata lain dari piknik, wisata, tamasya dan rekreasi. Dalam KBBI, piknik diartikan bepergian ke suatu tempat di luar kota untuk bersenang-senang dengan membawa bekal makanan dan sebagainya, wisata diartikan bepergian bersama-sama, tamasya diartikan perjalanan untuk menikmati pemandangan, keindahan alam dan sebagainya, rekreasi diartikan sebagai penyegaran kembali badan dan pikiran dengan sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan serta piknik. Dari kelima aktifitas tersebut dapat disimpulkan ke dalam tiga hal yakni perjalanan, bekal dan rasa. Perjalanan adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dan ditekankan pada proses, bekal dikategorikan sebagai modal dan rasa; baik artifisial maupun natural merupakan efek.

Proses, modal dan efek dalam Hangout, secara umum dan mudah, bermuasal dari kata ‘jenuh’ yang dipadankan dengan kata bosan dan jemu. Dalam kimia larutan, kata jenuh digunakan dalam istilah larutan yakni ‘larutan jenuh’, sebuah kondisi ketidaksempurnaan pencampuran dalam proses penambahan bertahap zat terlarut kedalam pelarut dan menghasilkan endapan. Kejenuhan pada manusia pun diibaratkan demikian, zat terlarut adalah masalah dan otak manusia adalah pelarutnya. Proses menumpuknya masalah serta bercampurnya masalah satu dengan masalah lain, kiranya adalah hal yang serupa. Tidak ada ukuran pasti berapa maksimum kapasitas otak manusia untuk menampung berbagai masalah yang dihadapinya, akan tetapi apabila masalah terlalu banyak maka timbulah endapan kejenuhan, seperti proses timbulnya kejenuhan pada larutan akibat zat terlarut lebih besar dari pada pelarut.

Dalam visual, kejenuhan dikenal dengan istilah saturation, yakni proses menjenuhnya kualitas pewarnaan dalam sebuah image digital. Proses penjenuhan warna tersebut bergerak positif dan negatif. Apabila diberi penambahan nilai 100% (seratus persen) ke arah positif, maka kejenuhan warna meningkat drastis, kadar warna berlebih dari kondisi normal dan tampak rusak. Sedangkan apabila diberi pengurangan nilai 100% (seratus persen) kearah negatif, maka kejenuhan warna menurun drastis, kadar warna menghilang dari kondisi normal dan tampak buram.

Pengertian Hangout diatas, sejalan dengan pemikiran Josef Pieper mengenai waktu senggang dalam buku Fransiskus Simon (2008:64) yang berjudul “Kebudayaan dan Waktu Senggang”. Pieper mengemukakan pengertian harfiyah waktu senggang ialah saat jeda dari kesibukan dan rutinitas keseharian; santai; piknik; berlibur. Namun Pieper menentang pemahaman waktu senggang sebagai kesempatan untuk bermalas-malasan, karena Pieper merujuk pada pemikiran Thomas Aquinas bahwa kemalasan justru adalah kemandulan menggauli waktu senggang dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja, karena kerja dipandang sebagai demi kerja semata. Pemikiran Pieper lainnya mengenai waktu senggang adalah waktu senggang bukanlah sikap (attitude) atau tindakan (act) yang terjadi karena kekuasaan, pengaruh, atau tekanan dari luar, melainkan sikap mental dan spiritual. Keberadaannya bukan karena faktor eksternal, seperti hari libur, cuti atau saat beristirahat yang diatur. Dalam berwaktu senggang kita bersikap aktif namun diam, Pieper menyebutnya ‘The Art of Silence’. Waktu senggang hanya mungkin dilakukan saat manusia menyatu dengan dirinya sendiri dan menolak malas karena malas adalah kerapuhan memaknai kehidupan.

Kajian kontemporer mengenai waktu senggang berkaitan dengan jeda dari kesibukan dan rutinitas keseharian yang terjadi saat ini sangatlah sulit untuk dipetakan karena lenyapnya batas jeda dan sibuk atau rutinitas. Waktu jeda sangatlah tidak mungkin dilakukan karena sibuk atau rutinitas yang terjadi saat ini berlangsung penuh 24 (dua puluh empat) jam dalam sehari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu, 30 (tiga puluh) hari dalam sebulan dan 12 (dua belas) bulan dalam setahun. Waktu jeda dan rutinitas saling bertemu dan berjalan simultan menjadikannya bagian dari paradox. Pertanyaannya yang berkaitan dengan hal tersebut adalah kalau Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi sebagai proses perjalanan atau perpindahan, yang berjalan atau berpindah subyeknyakah atau obyeknya?

Modal berperan penting dalam Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi. Modal tersebut tidaklah hanya bersifat material melainkan non material seperti halnya modal budaya yang dibawa seseorang dalam berwisata. Ketika berada pada sebuah obyek wisata, wisatawan melakukan proses interaksi. Berwisata alam sama halnya berinteraksi dengan alam. Modal utama saat menginterpretasi sesuatu yang berkaitan dengan alam berkaitan dengan modal budaya mengenai alam. Tanda-tanda visual alam akan dimaknai seorang wisatawan berdasarkan modal budaya yang ia bawa sebelum berada dalam kawasan wisata. Tanda-tanda visual tersebut akan dikorelasikan dengan modal budaya dan didifrensiasikan sehingga menjadi pemaknaan baru yang cenderung subyektif, walaupun ketika wisatawan mengambil sebuah pilihan obyek wisata merujuk pada konvensi akan keindahan obyek wisata tersebut.

Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi diposisikan pada jeda dan berada diantara. Jeda berarti ada diantara dua peristiwa; masa lalu dan masa depan, sebelum dan sesudah. Masa lalu atau sebelum menjadi tepian awal sebuah jeda dan masa depan atau sesudah menjadi tepian akhirnya. Banyak beban yang ditinggalkan di tepian awal serta banyak manfaat yang diharapkan pada tepian akhir sebuah jeda. Manfaat yang diharapkan tersebut bisa dikatakan sebagai efek rasa natural juga artificial. Efek rasa natural tersebut berasal dari permukaan yang tampak pada obyek wisata sedangkan efek rasa artifisial berasal dari pemaknaan obyek wisata.

Proses Hangout; piknik, wisata, tamasya dan rekreasi tidak terlepas dari pengalaman visual, seperti halnya menikmati pemandangan alam, menonton film di bioskop atau home theater, membaca buku di taman maupun majalah di ruang publik, melihat konser musik langsung di stadion maupun lewat televisi hingga secara virtual melalui dunia maya. John Naisbitt (2001:31) dalam bukunya berjudul “High Tech High Touch” mengemukakan mengenai budaya layar (screen culture) yang merasuki kehidupan manusia. Banyak dalih mengatakan layar-layar yang menghibur seperti televisi, bioskop, web dan electronic game hanyalah menampilkan sesuatu yang ‘maya’, padahal konsekuensinya sungguh nyata. Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan, masihkah kita menjaga teritori ruang maya dan nyata dengan batasan-batasan konsekuensi yang jelas?

(tulisan ini di terbitkan di katalog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar