MENJADI PEMBERONTAK KREATIF:
Sebuah tawaran bagi seniman grafis melawan Mainstream
Oleh: Wiranto
1.
Seni grafis yang secara teknis cenderung rumit dan dianaktirikan oleh pasar ternyata bisa menjadi subkultur baru dimana spirit-spirit seniman muda bisa disemaikan. Kelemahan yang selama ini ada, justru ditasbihkan sebagai penanda baru bagi sebuah atmosfer ekspresi. Kecenderungan nir-pasar seni grafis alih-alih bisa dilihat sebagai medan potensialitas tanpa batas untuk semakin membumikan seni grafis itu sendiri. Inilah esensi Hang Out, sebuah kondisi nol yang merupakan sebuah turning point untuk secara bebas melayangkan pandang ke segala arah guna mencari perspektif estetik baru. Memasukkan segala alternatif yang mungkin, melebarkan sudut tatap dan meleburkan sekat-sekat estetis yang dimunculkan oleh arus utama (mainstream).
2.
Pemberontakan-pemberontakan kreatif semestinya menjadi nafas komunitas yang sedang menjalani fase Hang Out. Membangun habitusnya sendiri guna memunculkan seperangkat norma estetis baru untuk merongrong narasi besar. Menyebarkan virus-virus kegelisahan, dan pada akhirnya mendongkel kemapanan arus utama. Sebuah lompatan kuantum yang dimulai dari Hang Out. Mimpi? tidak! Khayalan? sekali-kali bukan!
Hukum estetika tak berkelindan jauh dari hukum alam. Hukum alam sendiri mengenal apa yang disebut Teori Chaos. Salah satu ajaran yang dikumandangkan berbicara tentang begitu pentingnya aksi-aksi kecil dalam mempengaruhi akibat besar. Ajaran ini bisa memberikan komunitas kecil dan terpinggirkan untuk memberikan sumbang sistem bagi lancarnya tata sistem yang lebih luas. Bisa memacu komunitas-komunitas ini untuk bersuara lantang di depan kekuasaan, memberikan gangguan berarti untuk penguasa. Bagai gigitan nyamuk di pantat Barrack Obama atau suara kentut pada jamuan makam malam para pemimpin KTT G 20. Sebuah peristiwa sekecil dan sesederhana apapun akan mempengaruhi struktur besar alam. Pilihan sederhana untuk memilih ruas kanan atau ruas kiri yang diambil saat tiba di sebuah persimpangan akan menentukan konstelasi kehidupan seseorang. Siapa yang berani menyangkal fakta sederhana ini? Jim Supangkat-pun tak berani.
3.
Pameran bertajuk Hang Out inipun mestinya membawa impian yang sama, tak peduli bagaimana rupa karya yang terpajang di dalamnya serta siapapun orang yang membuatnya. Pandangan minor terhadap seni grafis meski dikikis, tidak dengan amarah dan luapan emosi atau bahkan lemparan sepatu, tapi melalui aksi-aksi kecil penggerogotan narasi besar. Pemberontakan-pemberontakan kreatif. Peserta pameran ini harus mau menjadi ekstremis-ekstremis kecil di depan kolonisasi narasi besar. Telunjuk pantas kita arahkan ke depan hidung narasi besar sebagai biang terpinggirkannya seni grafis. Dalam narasi besar inilah terjadi praktek hegemoni pemaknaan, universalisasi nilai, munculnya patok duga yang dingin dan kaku, pengkotak-kotakan hingga peninggian status yang satu diantara yang lain. Inilah prestasi spektakuler narasi besar dalam ranah seni, sebuah ranah yang semestinya dicirikan oleh pluralitas, penghargaan terhadap lokalitas, perayaan terhadap perbedaan, penghilangan status kelas, dan juga peleburan sekat-sekat estetis. Banyak narasi alternatif yang tak berdaya di hadapan narasi besar karena dicurigai sebagai “the other”. Menyakitkan!
3.
Tisna Sanjaya mestinya tersenyum lebar kala tumpukan karya grafisnya semasa kuliah hingga tahun 2006 bisa ditukar dengan mobil kilap senilai ratusan juta rupiah. Apakah ini termasuk pemberontakan kreatif melawan narasi besar di tengah belantara dominasi seni lukis? Atau justru Tisna tak lebih sebagai agen narasi besar untuk meng-universalkan seni grafis? Kita mesti Hang Out untuk menilainya. Dari titik Hang Out ini pula kita musti mulai mendefinisikan kembali semuanya, dari mana saja, kapan saja, dan siapa saja.
Karena toh Hang Out adalah milik kita semua tanpa ada sekat dimensi ruang waktu. Bagaimana? Mau…?
Penulis adalah kritikus independen dan pendidik seni.
Jumat, 17 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar